“Kau
tahu bahwa aku bukan seutuhnya manusia, Sean.”
Ketika kalimat itu terlontar,
normalnya lelaki itu akan disuguhi sepaket kerlingan mata dan ekspresi jenaka
yang tak pernah gagal membuat senyumnya turut terkembang. Namun kini, gadis itu
sedang bersandar di dadanya sehingga hanya puncak kepala dan surai coklat gelap
beraroma buah plum yang dapat ditangkap
inderanya. Meski demikian, Sean sudah hafal. Sebentar lagi Lexa pasti akan
memproklamirkan dirinya entah sebagai elf
yang mewarisi darah unicorn atau makhluk fantasi lainnya—persis seperti kisah-kisah
fiksi yang bahkan tak pernah bisa dijangkau oleh pemikiran logis Sean. Dan nyatanya,
tanpa melihat wajah gadis itu sekalipun, Sean mampu mengangkat satu ujung
bibirnya; mengetahui Lexa sesekali terangguk karena menahan kantuk berat. Bagi
Sean, Lexa-nya tetap terlihat lucu dalam keadaan apapun.
“Aku kehilangan sayapku. Itu yang
membuatku terjebak di bumi dan tak bisa kembali lagi ke langit ketujuh,” lanjut
Lexa, tak peduli dengan suaranya yang kian lemah. Sembari memejamkan kedua
matanya perlahan, buku berjudul Evermeet:
Island of the Elves di pangkuannya pun ditutupnya pula. “Tapi aku tak
pernah merasa takut lagi, knowing that
I’ve found another form of wings. Sean... berjanjilah untuk menjadi sayap
yang menjagaku selamanya.”