Selasa, 25 Agustus 2015

[Short Story] Morbid Confession








             “Kau tahu bahwa aku bukan seutuhnya manusia, Sean.”

            Ketika kalimat itu terlontar, normalnya lelaki itu akan disuguhi sepaket kerlingan mata dan ekspresi jenaka yang tak pernah gagal membuat senyumnya turut terkembang. Namun kini, gadis itu sedang bersandar di dadanya sehingga hanya puncak kepala dan surai coklat gelap beraroma buah plum yang dapat ditangkap inderanya. Meski demikian, Sean sudah hafal. Sebentar lagi Lexa pasti akan memproklamirkan dirinya entah sebagai elf yang mewarisi darah unicorn atau makhluk fantasi lainnya—persis seperti kisah-kisah fiksi yang bahkan tak pernah bisa dijangkau oleh pemikiran logis Sean. Dan nyatanya, tanpa melihat wajah gadis itu sekalipun, Sean mampu mengangkat satu ujung bibirnya; mengetahui Lexa sesekali terangguk karena menahan kantuk berat. Bagi Sean, Lexa-nya tetap terlihat lucu dalam keadaan apapun.

            “Aku kehilangan sayapku. Itu yang membuatku terjebak di bumi dan tak bisa kembali lagi ke langit ketujuh,” lanjut Lexa, tak peduli dengan suaranya yang kian lemah. Sembari memejamkan kedua matanya perlahan, buku berjudul Evermeet: Island of the Elves di pangkuannya pun ditutupnya pula. “Tapi aku tak pernah merasa takut lagi, knowing that I’ve found another form of wings. Sean... berjanjilah untuk menjadi sayap yang menjagaku selamanya.”


Senin, 10 Agustus 2015

[Flash Fiction] Sekata Pinta

            
         


            Berapakah harga sebuah permintaan maaf?

            Kukira aku selalu bisa menebusnya dengan satu tahun waktu hidupku. Menunggu sedemikian lama hingga dua-tiga hari bertabur kata ‘maaf’ itu tiba. Saat itu aku akan bersimpuh di hadapan ayah dan bunda sambil mencium tangan beliau dengan penuh khidmat, lantas menyalami adik-adikku layaknya sahabat yang lama tak bersua; meminta maaf.

            Namun bagaimana jika itu semua tak cukup? Bagaimana jika aku menginginkan lebih dari itu? Lebih dari sekadar ritual tahunan? Aku ingin meminta maaf setiap hari, setiap saat, setiap kali wajah mereka terlintas di benak. Entah saat aku melakukan kesalahan ataupun tidak. Aku hanya ingin mengatakannya karena aku terlampau sayang. Itu saja.

            Maaf.

            Maaf.

            Maaf...
           
           Kini aku tak punya apa-apa lagi untuk sekadar berani menawar harga.

           Aku... sudah kehabisan waktu.
           





A/N:

Inspiring song : Promise by EXO 
@KampusFiksi #FiksiLaguku challenge


---------
Today I’m turning 21. And I got strucked by this anxious feeling. I know I should be grateful, of course I did, but I simply can’t lie. That as we getting older and older, birthday doesn’t feel like something to had fun about anymore. Last night I listened to this song and let all the sentimental-minor melodies hit me hard. Although I don’t know the overall lyrics’ meaning, I do know the words ‘mianhae’, ‘gumawo’, and ‘saranghae’ ;P So, I can’t think of other except my own family. They are all my best supporter in the world. They always be there for me no matter what. They are my reason to fly forth, also, my reason to go home. This #FiksiLaguku is merely my messy deepest feeling, since I felt like I haven’t treasure them enough.


Soon the new college year will begin. And I won’t be able to meet my family for the next six months. So yeah, I want to spend many good times with them rn ^^



Sabtu, 27 Juni 2015

[Short Story] Tualang

image source: http://smesnyobraz.tumblr.com/



        Alam mimpiku mendadak sirna lagi, tak lain tak bukan karena kepalaku yang terantuk dinding besi. Entah untuk yang ke berapa kali aku tertidur selama perjalanan di atas KA Sri Tanjung ini. Dengan pelipis yang berdenyut serta mata terkantuk-kantuk, aku lantas melayangkan pandangan ke luar jendela. Siang belum beranjak. Pemandangan deretan rumah penduduk dan petak-petak sawah masih tampak berkelebat-kelebat. Sejenak aku merasa pusing dan ingin kembali mengatupkan mata untuk melanjutkan tidurku, namun urung kulakukan. Sebuah kalimat sederhana—bagiku bukan merupakan nasihat melainkan seperti sebuah ajakan—dari seorang sahabat lama tiba-tiba terngiang dan mengusir segala penat. Kalimat, yang karenanya juga aku jadi tertantang untuk menukarkan waktu libur kuliahku dengan perjalanan 15 jam yang membuat pegal tulang ekor ini. Setahun hampir berlalu, namun aku masih ingat betul. Ekspresi itu. Semangat itu.

      “...nggak semuanya bisa dipelajari di buku. Dolano wis! [1]

      Kalimat itu bagai sebuah tamparan, namun anehnya tidak terasa sakit. Kuakui, ini merupakan perjalanan jauh pertama yang kulakukan sendiri. Tanpa ayah, tanpa ibu. Perlu diketahui pula bahwa bukan hal yang mudah untuk meminta izin kepada orangtuaku yang sedikit overprotective itu. Lagipula selama ini, aku memang lebih suka menghabiskan waktu sepulang sekolahku di rumah saja. Tak ayal, kemudian muncul berbagai julukan dari teman-teman untukku, seperti anak rumahan, kutu buku, sampai belang-belang alias belajar pulang-belajar pulang. Namun sejak bersahabat dekat dengan Umma, perlahan aku berubah. Keinginan untuk berpetualang itu muncul. Dan kalimat terakhir sebelum kepindahannya ke Banyuwangi itulah yang menjadi penggerak utamaku. Aku memutuskan untuk menabung habis-habisan demi mencukupi keperluan mbolang, tentu setelah ayah dan ibu akhirnya mengizinkanku untuk pergi. Dari kampung halamanku Yogyakarta, aku pun memulai petualangan pertamaku menuju kota sahabatku di ujung timur Pulau Jawa.

      Jam sudah menunjukkan tepat pukul sembilan malam ketika aku tiba di stasiun kota. Sesuai petunjuk Umma, aku memilih angkutan umum untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. Tak sampai sepuluh menit, hawa yang tadinya terasa biasa saja berubah menjadi sedingin es. Umma pernah bercerita padaku bahwa rumahnya terletak di jalur menuju kawah Gunung Ijen.

       “Wuduuuh, saking ademe aku wis biasa adus sedino pisan![2] Whahahah...”


Senin, 11 Mei 2015

[Short Story] Cerita Bui

           



       Jam menunjukkan tepat pukul empat sore. Matahari yang condong di sisi kananku sedang memamerkan teriknya—mencetak jelas bayangan dari jeruji-jeruji besi serta figur tubuhku yang tegap menyusuri lorong. Meski begitu, bukan berarti aku bisa mengabaikan rasa asing yang serta merta menyergap. Samar kudengar derap sepatu, derit-derit pintu, orang yang bergumam, cericit tikus, atau sesekali suara benda yang seperti dibanting—hampir tak ada yang luput dari indera pendengaran karena di tempat senyap ini, semuanya akan terpantul. Menggema. Belum lagi bau besi yang terkorosi waktu serta tembok tua yang sebagian besar catnya sudah terkelupas. Bersama bau busuk (yang entah berasal dari apa), semua bersekongkol menguarkan aroma aneh di udara. Aku mendadak mual. Tempat ini, kurasa, adalah senyata-nyatanya kemurungan. Di beberapa sudut tampak sipir penjara bermuka garang yang sedang sigap berjaga. Sama seperti bangunan ini, mungkin otot-otot wajah mereka juga sudah mati. Hanya satu-dua dari mereka yang bersedia mengangguk ala kadarnya, lalu tersenyum sebagai tanda hormat selagi aku berlalu. Paling tidak, secuil keramahan itulah yang membuatku berpikir bahwa tempat ini tak seburuk kelihatannya.

            Satu hal lagi yang menguatkanku untuk berdiri di tempat ini, ialah ingatanku akan cerita-cerita Ibu. Beserta kekhawatirannya yang berlebihan pada kakakku.

“Kamu sungguh mau bekerja di sana? Sudah dipikirkan baik-baik?” tanya Ibu.

            “Ya. Aku sudah yakin. Narapidana juga butuh bercerita dan didengarkan,”

            “Baguslah. Kalau begitu sekalian jaga kakakmu. Pastikan kalau hidupnya terjamin dan masih diperlakukan dengan manusiawi. Awasi dia dari pegawai-pegawai penjara yang mungkin saja menyakiti Andrei. Oh, ya Tuhan—” Sesaat ketika aku merasa bahwa Ibu peduli padaku, isak tangis pun terdengar. Memastikan bahwa yang ada di pikirannya hanyalah kakakku. Selalu seperti itu.

Minggu, 19 April 2015

[Short Story] A Story of Sentimental Agent


source: skeletales.tumblr.com



            Pagi ini, kawasan Wall Street di Manhattan gempar. Lalu lintas menjadi agak kacau. Terlihat di tengah keriuhan, tiga unit mobil ambulans dan belasan petugas kepolisian sedang berjaga di depan pintu sebuah hotel. Dua petugas medis tampak bergegas mengangkut sebuah kantung berisi jenazah, ketika aku dan beberapa perwakilan dari departemen kesehatan tiba di lokasi. Satu jam sebelumnya, Tuan Williamson menelpon bahwa telah terjadi kasus pembunuhan terhadap para petinggi intelejen negara. Pihak kepolisian sendiri sebenarnya jarang memanggil tim dari departemen lain. Namun dikarenakan adanya kemungkinan pembunuhan dilakukan dengan menggunakan media racun, kami pun dimintai bantuan dalam proses penyelidikannya.

            “Public Health Service?” Seorang pria paruh baya yang kuyakini berasal dari Biro Investigasi Federal menyambutku dengan uluran tangan. Tampak sekali ia berusaha untuk bersikap ramah meskipun tegang di wajahnya jelas mendominasi. Tentu saja, karena ini bukan sekadar kasus kriminal biasa. Korban pembunuhan tragedi ini merupakan orang-orang penting yang membawa segala kunci pertahanan negara. Pertahanan seluruh Amerika. Dan meskipun wewenangku di sini hanyalah untuk mencari penyebab kematian mereka, ada semacam cambuk imajiner yang membuatku ingin berkomitmen untuk bekerja semaksimal mungkin.

            “Benar,” jawabku. “Tatcher. Josh Tatcher dari CDC.”

Jumat, 10 April 2015

[Short Story] Dear, Mr. Perfectly Fine...




            Jatuh cinta.  Satu rasa yang sama, dan tiap orang akan mengekspresikannya dengan cara yang berbeda-beda. Ada tipe straight-foward, yang akan selalu berani untuk berubah menjadi sosok Romeo atau Kesatria Bergitar di depan sang pujaan dan mengungkapkan perasaannya secara langsung. Ada juga tipe agresif yang melakukan apapun demi mencuri perhatian terlebih dahulu. Entah itu dengan cara pura-pura marah, pura-pura belum makan, pura-pura jatuh, pura-pura nangis, pura-pura sakit sampai yang paling cadas, pura-pura mati. Selain itu, ada pula tipe yang sebelum Angelina Jolie beralih profesi jadi tukang bubur kacang ijo di perempatan Jalan Malioboro, tidak akan pernah berani memperlihatkan apalagi menyatakan perasaannya. Tipe yang hanya mampu mencintai orang yang disukainya dari jauh. Menghayati punggungnya, dan memilih jatuh cinta diam-diam.

            Ngomong-ngomong, aku adalah tipe yang terakhir. Sementara Aira, sahabatku yang ekstrovert itu, adalah tipe kedua. Kami adalah siswi kelas tiga SMA yang senasib sepenanggungan, sama-sama merupakan korban pesona dari kakak mentor di tempat bimbingan belajar. Entah, mungkin karena kita mulai bosan dengan laki-laki yang sebaya dan mencoba untuk menjadi anti-mainstream. Yang jelas pria berusia dua puluh tujuh tahun dengan kemeja semiformal dan bersenyum ramah nyatanya membuat kami lemah. Dan sungguh, adalah sebuah ketidaksengajaan ketika di suatu sore usai mengikuti kelas tambahan dan melihat kakak itu melempar senyum sebatas sapa, aku jatuh cinta.

Senin, 23 Maret 2015

[Short Story] Gradasi Rasa



            Suara sirine meraung-raung di jalanan padat Massachusetts, malam itu selepas hujan. Membumbung, mengudara, seolah mengukuhkan keberadaannya sebagai nama lain dari malapetaka. Lagipula sudah terlampau lama mindset kita terbentuk, yang ketika mendengar suara khas tersebut, langsung berspekulasi bahwa kemungkinan telah terjadi sebuah tragedi: ambulans yang tengah mengevakuasi pasien kritis atau mobil polisi yang sedang mengejar buronan rampok bank kelas kakap. Namun kedua hal tersebut tak terbesit sama sekali di benakku, ketika gadis berponi itu muncul lagi dengan tatapan nanar, mendapatiku sedang bercumbu dengan wanita lain di sudut taman kota. Situasi ini berbahaya. Jelas lebih menakutkan daripada tragedi apapun.

            Hari-hari berikutnya setelah kedapatan selingkuh dengan Janice, kupikir aku tidak akan bisa melihat Naomi lagi. Ya, gadis berponi yang berhasil membuatku jatuh hati itu ternyata sama sekali tidak marah seperti dugaanku. Justru saat kutemui di studionya, lagi-lagi ia memamerkan senyum yang selalu mengingatkanku pada gula-gula kapas. Seolah tak terjadi apa-apa semalam, ia meletakkan kuasnya lantas berlari menyambutku. Dengan antusiasme yang meletup-letup, ia menarik lenganku dan menunjukkan proyek terbarunya yang masih separuh jadi.