image source: http://smesnyobraz.tumblr.com/
Alam
mimpiku mendadak sirna lagi, tak lain tak bukan karena kepalaku yang terantuk
dinding besi. Entah untuk yang ke berapa kali aku tertidur selama perjalanan di
atas KA Sri Tanjung ini. Dengan pelipis yang berdenyut serta mata
terkantuk-kantuk, aku lantas melayangkan pandangan ke luar jendela. Siang belum
beranjak. Pemandangan deretan rumah penduduk dan petak-petak sawah masih tampak
berkelebat-kelebat. Sejenak aku merasa pusing dan ingin kembali mengatupkan
mata untuk melanjutkan tidurku, namun urung kulakukan. Sebuah kalimat
sederhana—bagiku bukan merupakan nasihat melainkan seperti sebuah ajakan—dari
seorang sahabat lama tiba-tiba terngiang dan mengusir segala penat. Kalimat,
yang karenanya juga aku jadi tertantang untuk menukarkan waktu libur kuliahku dengan
perjalanan 15 jam yang membuat pegal tulang ekor ini. Setahun hampir berlalu,
namun aku masih ingat betul. Ekspresi itu. Semangat itu.
“...nggak semuanya bisa dipelajari di
buku. Dolano wis! [1]”
Kalimat
itu bagai sebuah tamparan, namun anehnya tidak terasa sakit. Kuakui, ini
merupakan perjalanan jauh pertama yang kulakukan sendiri. Tanpa ayah, tanpa ibu.
Perlu diketahui pula bahwa bukan hal yang mudah untuk meminta izin kepada
orangtuaku yang sedikit overprotective itu.
Lagipula selama ini, aku memang lebih suka menghabiskan waktu sepulang
sekolahku di rumah saja. Tak ayal, kemudian muncul berbagai julukan dari
teman-teman untukku, seperti anak rumahan, kutu buku, sampai belang-belang alias belajar
pulang-belajar pulang. Namun sejak bersahabat dekat dengan Umma, perlahan aku
berubah. Keinginan untuk berpetualang itu muncul. Dan kalimat terakhir sebelum
kepindahannya ke Banyuwangi itulah yang menjadi penggerak utamaku. Aku
memutuskan untuk menabung habis-habisan demi mencukupi keperluan mbolang, tentu setelah ayah dan ibu
akhirnya mengizinkanku untuk pergi. Dari kampung halamanku Yogyakarta, aku pun
memulai petualangan pertamaku menuju kota sahabatku di ujung timur Pulau Jawa.
Jam sudah menunjukkan
tepat pukul sembilan malam ketika aku tiba di stasiun kota. Sesuai petunjuk
Umma, aku memilih angkutan umum untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju
rumahnya. Tak sampai sepuluh menit, hawa yang tadinya terasa biasa saja berubah
menjadi sedingin es. Umma pernah bercerita padaku bahwa rumahnya terletak di
jalur menuju kawah Gunung Ijen.
“Wuduuuh, saking ademe aku wis biasa adus sedino
pisan![2] Whahahah...”
Begitulah Umma. Hal
yang tak pernah kulupakan darinya adalah pembawaannya yang apa adanya, namun
tak pernah kehabisan cara untuk menghidupkan suasana. Berbeda denganku yang
cenderung introver dan lebih suka menjadi pendengar, Umma yang kukenal adalah gadis
pemberani, senang bertualang, dan pencetus ide-ide unik. Mungkin itu sebabnya,
dulu ia ditunjuk ibu guru untuk menjadi ketua kelas. Meski kelincahannya itu,
kadang-kadang juga bisa memicu keonaran di kelas. Betapa masih lekat di kepala,
ingatan ketika Umma yang tertawa-tawa usil, ditarik paksa keluar kelas oleh
segerombolan anak laki-laki lalu diikat ramai-ramai di bawah pohon jambu.
Kemudian dengan kompak, semua anak laki-laki itu duduk dan menari Kecak di
sekelilingnya.
“Hei! Hei! Kenapa
ini, kok Umma diikat begini?! Hayo, dilepas!” Pak Wandi yang kebetulan lewat
saat jam istirahat, melihat huru-hara itu dan hendak membubarkannya.
“Biarin, pak. Dia ini
liar, pak! Anaknya nggak bisa diem
sama sekali, pak!”
“Iya, pak!” sahut
yang lain.
Pak Wandi terdiam,
lalu tertawa kecil. “Oh... ya sudah,” lanjut beliau sebelum melenggang pergi.
Melihat
Pak Wandi yang ternyata tidak memihaknya, Umma semakin meronta sementara tawa
semua anak laki-laki itu meledak. Ia terus menjadi objek pem-bully-an sampai aku yang kasihan
melihatnya, bergegas datang untuk melepaskan ikatan rafianya. Setelah itu, Umma
bercerita padaku bahwa ia mendapati anak laki-laki itu membawa kartu remi dan
memainkannya secara sembunyi-sembunyi saat pelajaran berlangsung. Umma kemudian
mengancam akan mengadukan mereka pada BP, sebelum akhirnya terjadi drama
penculikan itu. Tak gentar, Umma berkata bahwa ia akan terus menggunakannya
sebagai ancaman jika anak-anak bandel itu terlambat atau enggan membayar iuran kelas.
Selama kepemimpinannya, kelas XII A saat itu sering memperoleh juara lomba antar kelas, seperti lomba
kebersihan dan keindahan taman, lomba mading, lomba choir, sampai lomba makan kerupuk Agustus-an. Ia adalah sosok leader di balik kekompakan kelas. Maka
ketika Umma berkata bahwa ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke tingkat
kuliah, hatiku bak hancur berkeping-keping.
“Tapi...
kenapa, Um? Kamu kan bisa nyari
beasiswa? Pasti ada jalan—”
"Aku
nggak bisa. Ini sudah perintah umi
dan abi. Selama ini aku tinggal di Jogja kan, sudah merepotkan paman. Semua
biaya sekolahku pun juga sudah ditanggung sama beliau. Sekarang aku harus
kembali ke Banyuwangi buat bantu umi dan abi...”
Mobil
angkutan umum yang kunaiki pun berhenti dan aku baru tersadar dari lamunanku.
Sesaat, aku menghela napas dan mengusap mataku yang tanpa kusadari sudah
berkaca-kaca. Udara dingin seketika menerpa serasa menembus ke tulang, begitu
aku menginjakkan kaki di luar. Belum sempat aku mengedarkan pandang untuk
mencari rumah Umma, teriakan yang kurindukan terdengar dari dalam sebuah warung
makan kecil.
“Sinta?!!
Ciiiiin! Hoe!!”
***
Jika
semalam dingin terasa menembus tulang, maka dingin di subuh ini seolah mendedah
kulit orang. Ibu sedang menaikkan intonasinya beberapa oktaf dari seberang
telepon gara-gara aku tidak bisa dihubungi semenjak tiba di Banyuwangi.
Sementara itu, rahangku terlalu kaku untuk menjelaskan secara panjang kali lebar
tentang handphone-ku yang kehabisan
baterai dan aku tidak menemukan stop kontak
di stasiun. Ditambah, aku kelelahan sehingga tidak sempat men-charge begitu sampai di rumah Umma.
Butuh waktu dua kali sepuluh menit untuk meyakinkan beliau bahwa aku sudah
sampai di Banyuwangi dengan selamat sentosa.
“Jadi...
kamu mau ngajakin aku main ke mana?”
tanyaku pada Umma, ketika sarapan buatan nenek sudah terhidang.
Umma
terkekeh. “Sebenarnya aku ingin ngajak
kamu ke kawah Ijen, lihat blue-fire.
Tapi akunya yang bosan. Gimana kalau
ke tempat lain dulu? Ke Ijen bisa besok-besok, lah. Hm... Sepertinya kita butuh
peta! Kita butuh peta!” jawabnya sambil mengacungkan-acungkan ikan lemuru yang
telah tertancap mengenaskan di garpunya. Beruntung, umi dan abi Umma segera bergabung di meja makan sebelum
gadis itu sempat menggulung taplak meja untuk dijadikan Peta—saking menghayati
perannya menjadi Dora the Explorer.
“Kamu
ini, katanya pulang dari Jogja mau bantu umi sama abi. Bantu mbelgedes, maen aja roh kerjaannya,” seloroh abi. Mengerlingkan mata jenakanya yang
juga diwariskan pada Umma.
“Ehh,
enggak ya, Bi! Bohong! Aku selalu
bantu umi, kok. Coba tanya, siapa yang belanja ke pasar. Siapa yang bersihin
warung setiap pagi sebelum buka. Siapa yang promosi ke temen-temen buat main ke
kawah Ijen biar bisa makan di warung kita. Hayo, siapa, hayo?!”
“Iya,
iyaaa. Duuh, kalau soal debat memang kamu juaranya wis. Berisik. Hm... kenapa kalian nggak coba maen ke Taman Nasional Alas Purwo? Mumpung Sinta di sini,
kan?”
“Hah?!
Ke Alas Purwo, Bi? Bukannya dulu abi yang larang Umma main kesana? Nanti kalau
diculik genderuwo gimana?!” sahut Umma.
“Hush,
nggak boleh ngomong gitu. Ya itu kan,
karena dulu kamu masih kecil. Lagipula gimana kamu mau diculik, demitnya kalah
ganas sama kamu, Um, Um...”
Umma
nyengir. “Iya, juga ya, Bi. Aku masuk kesitu demitnya paling langsung pamitan
pergi atau pura-pura nggak kenal,”
“Demitnya
ketemu kamu langsung sungkem, Um,”
“Atau mungkin karena
mukanya Umma kayak begal ya, Bi??"
“Demitnya jadi
sungkan,”
Selain
oseng-oseng ikan lemuru, nasi tempong, dan topik perihal dedemit yang dihiasi gelak tawa ini, cerita tentang keindahan Taman
Nasional Alas Purwo dari abi membuatku kian antusias. Rumah, dari beragam
spesies flora dan fauna endemik—di samping image-nya sebagai kawasan hutan paling wingit di
Pulau Jawa—merupakan keunikan tersendiri yang amat mengundang rasa penasaran.
Maka pagi ini, tanpa ragu lagi, aku dan Umma segera berkemas untuk pergi
menjelajahinya.
***
Destinasi
pertama penjelajahan Taman Nasional Alas Purwo kami adalah tempat penangkaran
penyu di Pantai Ngagelan. Sebelum itu, aku dan Umma terlebih dahulu melewati
Pos Rawa Bendo, gerbang utama dari taman nasional, guna membayar retribusi dan
mengurus sewa mobil jeep lengkap
dengan guide tour. Mulai dari sini,
bisa kulihat cahaya matahari yang pada awalnya melimpah, perlahan meredup—terhalang
oleh cabang dan ranting pepohonan bambu yang saling bertindihan—dan semakin
teduh lagi seiring kami memasuki kawasan hutan. Geretak suara ban mobil yang
melindas dedaunan kering di atas aspal basah, menjadi pembuka sebelum sunyi
didominasi oleh kicau burung dan derit-derit serangga. Tak berlebihan kurasa,
jika kukatakan jalan ini serupa portal untuk memasuki dunia yang benar-benar berbeda.
“Mbak
Zu! Ini pantainya berapa kilometer lagi?” tanya Umma pada guide tour kami, yang sepertinya sedikit kaget dengan intonasi
sahabatku yang impulsif ini. Wanita yang berumur sekitar dua puluh lima tahun
itu berambut cepak dan sedikit tomboy. Sekilas raut wajahnya menunjukkan bahwa
dia bukan tipe yang pandai beramah-tamah dan sabar.
“Ehm...
Pantai Ngagelan masih tiga kilometer lagi,”
“Jauh
amat.”
“Kita
kan baru sepuluh meter keluar dari pos, Um...” sahutku pelan. Terkadang, temanku
satu ini memang minta dijitak.
“Oh,
iya iya...”
Selagi
Umma mengganggu konsentrasi Mbak Zu dengan mengajukan pertanyaan yang sama
setiap lima ratus meter, aku sibuk melayangkan tatapan ke luar jendela. Barisan
rapi pohon-pohon mahoni di kanan-kiri jalan membuatku serasa terhipnotis. Berkali-kali,
kudapati diriku seolah-olah terisap ke dalamnya—seperti adegan dalam sebuah
film di mana aku berlari dari kejaran monster yang melesat-lesat di sela
pepohonan—dan disadarkan kembali oleh tawa Umma yang duduk di sampingku.
Di sepanjang
perjalanan, beberapa kali kami melihat fauna penghuni suaka seperti biawak, kucing
hutan, serta sekelompok lutung yang berkeliaran bebas. Termasuk juga—kami
merasa amat beruntung—menyaksikan burung merak jantan dengan bulu tosca nan eksotis itu, sesekali hinggap
di cabang pepohonan. Jantung pun mendadak terpacu ketika Mbak Zu kemudian juga
menjelaskan bahwa di jalur rimba perawan seperti ini, ada kemungkinan kita akan
berpaspasan dengan hewan ganas seperti macan tutul. Namun sampai kemudian kita menginjakkan
kaki di lembutnya pasir Pantai Ngagelan, hewan-hewan yang kita jumpai masih
yang jinak saja.
Begitu memasuki pusat
penangkaran, kami disambut oleh seorang petugas yang kemudian menjelaskan
kepada kami semua hal tentang penyu. Di sana, kami melihat sepuluh kolam yang
digunakan sebagai tempat penampungan bayi-bayi penyu atau tukik yang baru
lahir.
“Tidak seperti
kura-kura yang seluruh hidupnya dihabiskan di darat, penyu hanya datang ke
daratan kalau sedang bertelur. Selebihnya, mereka tinggal di perairan laut. Masalahnya,
keselamatan dari telur-telur ini sangat rawan karena di area pantai banyak sekali
predator seperti biawak, babi hutan, termasuk manusia, yang suka memburunya
untuk dijadikan makanan sebelum sempat menetas,” sementara pria paruh baya itu
bercerita, Umma sudah mengambil seekor tukik dan meletakkannya di atas telapak
tangannya sambil menjerit-jerit gemas.
“Nah, yang itu namanya tukik Penyu Lekang atau
Abu-Abu. Di sana masih ada jenis Penyu Hijau, Penyu Sisik, sama Penyu Belimbing,
“Sampai umur berapa
penyu ini di tampung di kolam, Pak?” tanyaku.
“Hm, perlu waktu tiga
bulan sampai tukik-tukik ini siap dilepas ke laut. Wah, sepertinya kalian
beruntung sekali karena kebetulan, nanti ada kegiatan pelepasan tukik Penyu
Abu-Abu ke laut. Banyak turis-turis mancanegara juga. Silahkan ikut serta.”
Aku tak tahu apakah
Umma menyadari momen ajaib ini, atau tidak. Yang jelas, ada rasa bahagia yang
meluap ketika aku mengambil salah satu dari ratusan tukik itu. Aku lantas meletakkannya
di atas pasir pantai dengan sangat hati-hati, takut kalau-kalau genggaman yang
sedikit erat saja bisa melukai tubuh makhluk kecil yang rapuh itu. Mataku pun
tak berkedip saat mengawasinya berjalan, membentuk bekas di pasir yang
dilaluinya. Menjauh dan terus menjauh, hingga akhirnya menyentuh garis pantai, lalu
hilang—setelah sempat diombang-ambingkan ombak samudera. Aku tak pernah tahu
bahwa saat-saat seperti ini bisa begitu menggetarkan. Haru melindap di dada.
Aku merasa dekat dengan rumah.
“Apa mereka nggak merasa takut, ya?” tanyaku,
menatap lurus pada debur ombak di kejauhan yang kemudian dicerai-berai oleh
karang. Buih-buih air yang lembut itu lalu diterpa angin dan membentuk serupa
kabut yang menyelimuti pantai. Rasanya sulit membayangkan tukik-tukik itu bisa
bertahan di habitat yang ganas seperti ini.
“Ya pasti takut, lah.
Tadi kan, mereka masih tinggal di kolam yang nyaman dan hangat. Masih ada pak
petugas yang rajin memberinya makan. Nah, sekarang bayangin aja, mereka
tiba-tiba sudah berada di laut yang dingin dan gelap. Makanan pun harus nyari
sendiri. Belum lagi banyak hiu, hiiii,” Umma mengambil tukik terakhir yang ada
di wadah. “Tapi... Kalau mereka tetep berada di kolam, gimana mereka mau
tumbuh? Ya, nggak?"
“Rasanya pasti
menakutkan keluar dari zona nyaman yang udah memanjakan kita dengan semua
ketersediaan. Kita nggak pernah bisa
menebak bahaya apa yang bakal kita hadapi di dunia luar. Dan, beneran... itu emang serem,” Umma mendekatkan wajahnya
pada tukik terakhirnya. “Hoe, coba lihat deh! Yang ini wajahnya kayak Mbak Zu!
Sumpah ora ngapusi [3], MHAHAHA!!”
Aku ikut tergelak.
Mbak Zu yang hanya beberapa meter berdiri di belakangnya sudah menampakkan
ekspresi awas-saja-nanti-bakal-aku-lempar-ke-jalur-rimba-buat-makanan-macan-tutul.
Melihatnya, sontak membuat tawa kami bungkam.
Akhirnya, Umma melepaskan
tukiknya ke laut. “Tidak ada yang salah dengan rasa takut. Semua orang pada
dasarnya sedang menghadapi cobaan dan tantangannya masing-masing. Tapi, pasti
akan lebih mudah dan menyenangkan kalau kita berjuang sama-sama. Jadi, jangan
pernah merasa sendiri,” gadis itu menarik ujung bibirnya membentuk senyum penuh
arti. “Kamu sudah berani meninggalkan kolammu. Sekarang tunggulah tantangan,
pelajaran, dan hal-hal baru menarik lainnya yang akan datang menghampirimu.”
Senja sebentar lagi
singgah di kaki langit Banyuwangi. Berpuluh-puluh orang pria terlihat sedang
mendorong perahu slereg di sisi lain
bibir pantai.
“Makasih, Um. Atas
semuanya.”
Umma terkekeh. “Makasih
juga karena udah betah jadi sahabatku, Cin. Hehe...”
Sebelum melanjutkan
perjalanan menuju destinasi yang lain, malam ini kami memutuskan untuk
beristirahat di sebuah penginapan kecil. Ditemani secangkir kopi Osing, kopi
khas Banyuwangi dengan after taste tiada
dua itu, kami menjadi saksi orkestra Alas Purwo di malam hari. Syahdu. Tak ada keinginan
untuk mendua dengan notifikasi sosmed
yang menumpuk. Berisiknya acara di televisi, deru mesin kendaraan dan klakson
di lalu lintas kota, semua alfa. Malam ini hanya ada kami, uap kopi, gerisik
dedaunan tropis, desah ombak, dan langit yang membentangkan pemandangan
semesta. Baru satu hari di sini, kami sudah dapat menyimpulkan satu hal: betapa
Indonesia itu kaya. Selanjutnya, jadwal kami adalah mengunjungi Sadengan,
sebuah padang sabana di mana sekawanan banteng Jawa yang langka biasa
bergerombol dan mencari makan. Setelah itu, merasakan sensasi berjalan kaki
menyusuri rimba hutan menuju Gua Istana. Di akhir dari tour taman nasional ini, kami akan menikmati keindahan Pantai
Plengkung atau G-Land dengan ombaknya yang legendaris—katanya paling menantang
kedua setelah Hawaii. Ah, membayangkan petualangan kita esok saja sudah membuat
hati berdebar sekaligus tak sabar. Karena setelah semua ini, siapapun pasti
akan memanjatkan satu harap yang sama: semoga keindahan ini tetap lestari untuk
dapat dinikmati oleh anak-cucu nanti.
“Cin, aku mau ngasih
tahu sesuatu. Tapi ini sangat rahasia!” Bisik Umma.
“Apa?”
“Ternyata... nama
lengkap Mbak Zu adalah Siti Zulaeha.”
“Hah?!” Aku mengernyit
heran. Kurasa sahabatku ini benar-benar kelewat absurd.
“Hahaha! Eh, satu
rahasia lagi! Yang ini penting! Ehem... baru saja abi menelpon. Dapat proyek,
katanya. Dan beliau, akhirnya... mengizinkanku untuk melanjutkan kuliah tahun
ini.
Kamar kami memang
hanya diterangi oleh lampu temaram serta cahaya bulan yang lamat-lamat masuk
dari jendela kayu. Namun saat ini, detik ini, untuk pertama kalinya aku melihat
dengan jelas; mata Umma yang berkaca-kaca karena haru.
Yogyakarta, 27 Juni 2015
Dolano wis! [1] = Main, lah!
Saking ademe aku wis biasa adus
sedino pisan![2] =
Saking dinginnya aku sudah terbiasa mandi satu kali sehari!
Ora ngapusi [3]= tidak bohong
A/N: Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com.
Special thanks to my friend, Ayu Humairoh. You were all I think when I wrote this. Hope I really can visit you and your beloved town soon, and together we'll have an awesome journey :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar