Suara sirine meraung-raung di jalanan padat Massachusetts,
malam itu selepas hujan. Membumbung, mengudara, seolah mengukuhkan
keberadaannya sebagai nama lain dari malapetaka. Lagipula sudah terlampau lama mindset kita terbentuk, yang ketika
mendengar suara khas tersebut, langsung berspekulasi bahwa kemungkinan telah
terjadi sebuah tragedi: ambulans yang tengah mengevakuasi pasien kritis atau mobil
polisi yang sedang mengejar buronan rampok bank kelas kakap. Namun kedua hal
tersebut tak terbesit sama sekali di benakku, ketika gadis berponi itu muncul
lagi dengan tatapan nanar, mendapatiku sedang bercumbu dengan wanita lain di
sudut taman kota. Situasi ini berbahaya. Jelas lebih menakutkan daripada
tragedi apapun.
Hari-hari berikutnya setelah kedapatan selingkuh dengan
Janice, kupikir aku tidak akan bisa melihat Naomi lagi. Ya, gadis berponi yang
berhasil membuatku jatuh hati itu ternyata sama sekali tidak marah seperti
dugaanku. Justru saat kutemui di studionya, lagi-lagi ia memamerkan senyum yang
selalu mengingatkanku pada gula-gula kapas. Seolah tak terjadi apa-apa semalam,
ia meletakkan kuasnya lantas berlari menyambutku. Dengan antusiasme yang
meletup-letup, ia menarik lenganku dan menunjukkan proyek terbarunya yang masih
separuh jadi.
“Bagaimana menurutmu?” Kedua mata jernih nan indah miliknya
menyorotiku. Di saat bersamaan, semangat
serupa api yang masih membara di matanya menyadarkanku akan selisih umurku
dengan Naomi, 15 tahun lamanya. “Apa yang kau tangkap dari lukisanku ini?”
Aku berdehem. Canggung. “Ehm, kau tidak ingin
menyelesaikannya dulu?”
Air mukanya berubah. Menunjukkan ekspresi sedikit kesal
yang menurutku justru semakin lucu. “Ini
sudah selesai, tahu!”
“Oh, ya? Rupanya kau sengaja tidak mewarnai separuh sayap
kupu-kupu ini. Maaf. Sama seperti karyamu yang lain... out of the box,” aku menerka. “Rasa cinta yang memudar. Itukah
maknanya?”
Senyumnya merekah. Pertanda tebakanku benar. Untunglah.
“Judulnya Gradasi
Rasa. Merepresentasikan sifat manusia yang mudah berubah. Dan perubahan
tersebut kadang teramat drastis. Benci menjadi cinta, dan sebaliknya, cinta pun
dengan mudahnya menjadi benci. Sesederhana itu.”
Sesederhana itu,
katanya. Gadis muda berdarah Asia itu dapat berkata demikian karena ia tidak
tahu apapun tentang rasanya terjebak dalam sebuah dilema. Karena ia naif. Karena
ia tak pernah tahu bahwa aku memang mencintainya, namun tak pernah berniat
untuk membawa hubungan ini kemana-mana. Lantas kubiarkan ia melambung tinggi
bersama imajinasinya tentang kisah kami, sendiri. Perihal cinta, Naomi akan
selalu menerjemahkannya dengan kuas dan warna-warna pada kanvas. Sementara aku
lebih senang menghitung gelas dan botol-botol wine yang berdenting di lorong senyap lagi sesat.
Tak pernah kuduga sebelumnya, Naomi dan dunianya membuatku
semakin terjerat. Memantik perasaan bersalah yang aneh tiap kali aku
menghabiskan waktu bersama wanita-wanita lain tanpa sepengetahuannya. Seolah
tiap ekspresi kebahagian yang ia lukiskan, kini secara bersamaan tergores pula
di relung hatiku. Kala memeluk Janice, aku merasa seperti memeluk Naomi. Begitu
juga ketika bersama Shopia, Caitlin, Bethany, Clara maupun Annie, aku masih dibayang-bayangi
senyum Naomi. Ah, senyum gula kapas.
Kali
ini aku benar-benar jatuh cinta.
Aku
tak menginginkan yang lain lagi selain Naomi. Aku ingin tinggal disisinya. Menjadikannya
teman untuk menghabiskan sisa waktu hidupku. Ya, kurasa aku telah mengalami apa
yang disebut gradasi rasa.
Sirine terdengar meraung-raung dari luar jendela
apartemenku. Malam itu malapetaka terasa nyata. Aku menyesal karena tidak
membuang cincin yang hendak kuberikan saat melamar Janice esok hari. Sayang,
Naomi menemukannya terlebih dahulu.
Dan
sialnya ia sudah membunuhku.
Yogyakarta,
23 Maret 2015
A/N:
Cerpen diikutsertakan dalam tantangan menulis @KampusFiksi dengan tema
#RahimPuisi, metarfosis puisi menjadi cerpen. Inspirasi: Pemandangan di dalam Telur karya Dwi Purnomo.
suka :)
BalasHapusHalo!
BalasHapusTerimakasih sudah baca :')
aku merasa bahwa diriku tak sepuitis wanita berambut hitam yang lurus sebahu ini ^^
BalasHapuswah, seorang fathur maen ke blog-ku yang gaje ini? Demi apa? Nyahaha...
HapusLha itu, kalimatmu sendiri udah puitis xD
Aku juga merasa kalau nggak bakat nulis catatan di blog secara konsisten kayak kamu yang jam terbangnya udah tinggi sebagai blogger. Kadang pengen bisa, tapi setelah tulisan jadi, cuma disimpen di diary wahaha :D
Awww Naomi ternyata manis-manis sadis, ya. Semacam yandere. ><
BalasHapusyup, semacam. Akunya lagi suka eksplor tipe karakter ini sih :}
HapusPanji Sadewo hadir ... pagi tdi knlam di ig ... hmmmm ... mahir nian ... tpi aku lbh suka puisimu lhooo ...
BalasHapus