Jam menunjukkan tepat pukul empat
sore. Matahari yang condong di sisi kananku sedang memamerkan teriknya—mencetak
jelas bayangan dari jeruji-jeruji besi serta figur tubuhku yang tegap menyusuri
lorong. Meski begitu, bukan berarti aku bisa mengabaikan rasa asing yang serta
merta menyergap. Samar kudengar derap sepatu, derit-derit pintu, orang yang bergumam,
cericit tikus, atau sesekali suara benda yang seperti dibanting—hampir tak ada
yang luput dari indera pendengaran karena di tempat senyap ini, semuanya akan terpantul.
Menggema. Belum lagi bau besi yang terkorosi waktu serta tembok tua yang
sebagian besar catnya sudah terkelupas. Bersama bau busuk (yang entah berasal
dari apa), semua bersekongkol menguarkan aroma aneh di udara. Aku mendadak
mual. Tempat ini, kurasa, adalah senyata-nyatanya kemurungan. Di beberapa sudut
tampak sipir penjara bermuka garang yang sedang sigap berjaga. Sama seperti
bangunan ini, mungkin otot-otot wajah mereka juga sudah mati. Hanya satu-dua
dari mereka yang bersedia mengangguk ala kadarnya, lalu tersenyum sebagai tanda
hormat selagi aku berlalu. Paling tidak, secuil keramahan itulah yang membuatku
berpikir bahwa tempat ini tak seburuk kelihatannya.
Satu hal lagi yang menguatkanku
untuk berdiri di tempat ini, ialah ingatanku akan cerita-cerita Ibu. Beserta
kekhawatirannya yang berlebihan pada kakakku.
“Kamu sungguh mau bekerja di sana? Sudah dipikirkan
baik-baik?” tanya Ibu.
“Ya. Aku sudah yakin. Narapidana juga
butuh bercerita dan didengarkan,”
“Baguslah. Kalau begitu sekalian
jaga kakakmu. Pastikan kalau hidupnya terjamin dan masih diperlakukan dengan
manusiawi. Awasi dia dari pegawai-pegawai penjara yang mungkin saja menyakiti
Andrei. Oh, ya Tuhan—” Sesaat
ketika aku merasa bahwa Ibu peduli padaku, isak tangis pun terdengar.
Memastikan bahwa yang ada di pikirannya hanyalah kakakku. Selalu seperti itu.
Berbeda dengan Andrei, aku memiliki kecerdasan
intrapersonal. Secara intuisi kakakku berkembang sebagai scientist, sementara aku adalah nurturer
yang berhati sensitif. Sejak kecil, ketika sudah bisa mendengar, aku dijejali
cerita-cerita Ibu. Tentu saja aku tak benar-benar ingat kapan itu dimulai. Yang
aku tahu, Ibu menceritakan hal yang sama hampir setiap saat; tentang kakakku.
Meskipun beberapa bagiannya sudah hilang dimakan lupa, namun masih kuingat raut
wajahnya yang berseri saat bercerita tentang kakakku yang bisa menyabet juara
satu berturut-turut saat masih SD. Tak dapat disembunyikannya lagi rasa bangga
yang meruah, ketika kakakku memenangi berbagai olimpiade fisika dan kompetisi
debat bahasa inggris saat SMP dan SMA. Bahkan kemajuan kecil seperti ketika
kakakku berkencan dengan seorang gadis, Ibu gembira bukan main. Segala respon
itu hanya berlaku untuk Andrei. Respon yang tidak akan pernah kudapatkan bahkan
ketika aku berhasil lulus dari fakultas psikologi dengan predikat cum laude. Seiring bertambahnya usia,
semakin kusadari bahwa semua sikap Ibu pada Andrei adalah berlebihan. Aku yang
hanya terpaut satu tahun dari Andrei, mulai merasakan kecemburuan yang
terakumulasi atas kehidupannya yang sempurna. Sepanjang hidupku aku tertekan di
bawah bayang-bayang seorang kakak. Dan hari ini, aku bertekad untuk memulai
karierku di sini. Berharap dapat memperbaiki sistem keluarga yang timpang ini. Tentunya,
dengan caraku sendiri.
Narapidana pertama yang
berkonsultasi denganku hari ini bernama Pak Jono. Terpidana kasus pembunuhan. Ia
sudah menjalani masa tahanannya selama lima belas tahun. Kurang lima tahun
lagi. Namun melihat kondisi kesehatannya sekarang, aku khawatir sirosis hati
merenggut nyawanya terlebih dahulu sebelum ia sempat menghirup udara bebas. Ia
berkata bahwa ia hanya menginginkan satu hal, yaitu bertemu putrinya sebelum
ajal. Begitulah seterusnya, aku
mendengarkan berbagai keluh kesah dari berbagai macam latar belakang. Dari
seorang kakek yang dituduh mencuri pepaya di kebun tetangga, sampai pejabat
daerah yang terkena kasus korupsi pengadaan konservasi hutan lindung. Seperti
tujuan konseling pada umumnya, secara bertahap kehadiranku di sini adalah bermaksud
untuk membantu mereka menjalani masa-masa krisisnya. Menghilangkan emosi-emosi
negatif untuk bersiap menghadapi kehidupan normalnya lagi setelah bebas dari
penjara.
Waktu pun terus bergulir. Cerita
demi cerita terus mengalir. Hingga sampai pada narapidana ketujuh, seorang pemuda
yang sedikit terganggu mentalnya. Saat kuajak bercakap-cakap, tatapannya tidak
fokus. Ia berbicara melantur. Ataukah ia hanya berpura-pura? Jujur, aku
mengalami kesulitan membaca ekspresinya.
“Bagaimana kabar Anda?” tanyaku
sementara perhatianku masih berkutat dengan lembar-lembar dokumen berisi
biodata narapidana.
Aku meliriknya. Laki-laki itu menyapukan
pandangan ke penjuru ruangan yang biasanya digunakan sebagai ruang interogasi
ini. CCTV di sudut ruangan berkedip-kedip. Meski sudah kuperiksa sebelumnya,
bahwa kamera perekam itu sebenarnya sudah rusak dan berfungsi sebagai
penggertak belaka. Satu hal yang setidaknya masih membuatku nyaman, adalah
karena ruangan ini kedap suara.
“Ah, aku mau kembali ke sel saja!”
“T-tunggu. Boleh tahu siapa nama Anda?”
“Apakah kau seorang dokter?” ia
bertanya balik.
“Bukan.”
“Psikopat,”
“Psikolog.” ralatku.
“Hm. Menurutku keduanya sama saja.
Ah, kau masih saja bodoh, Rei. Pantas saja Ibu lebih menyayangiku meskipun aku
jadi pesakitan di sini,” Aku menelan ludah. Ternyata instingku benar, ia adalah
kakakku. Lima tahun terkungkung sebagai seorang pesakitan membuatnya susah
dikenali. Jambang lebat menutupi wajahnya dan badan yang dulunya tegap itu
menjadi agak bungkuk dan kurus. Cekungan hitam juga tampak di bagian bawah
matanya. Kakakku adalah korban obat-obatan terlarang. Entah bagaimana ia bisa
terjerumus, sementara kupikir hidupnya sudah terlalu sempurna untuk dinodai.
“Bagaimana kabar Ibu, adikku
tersayang?” Suara Andrei
“Kau—tak berhak lagi mendapat
perhatian lebih darinya. Kau mengkhianati kasih sayangnya.”
Andrei tergelak. “Jadi, apa yang
akan kau lakukan setelah datang kemari? Membunuhku untuk membalaskan dendammu?
Begitu?” Ia mendecah sinis. "Kekanakan."
Aku bungkam selagi menahan gemetar.
Matanya menatapku tajam. Mata milik Ibu.
“Kalau begitu lakukan. Bersiaplah
menggantikanku membusuk di sini,”
“Aku tak segampang itu.”
CLAK! CLAK! Sebuah paku bersarang
masing-masing di bola mata Andrei. Adalah sebuah keberuntungan dapat memasuki
penjara ini sebagai konselor karena tak ada seorang sipir pun yang curiga jika
aku membawa senjata tajam.
Andrei menggelepar. Darah bercucuran
membasahi wajahnya.
“Jika salah seorang anak tidak
memperoleh kasih dan perhatian dari ibunya, maka tidak seorang pun dari
anak-anaknya yang lain berhak mendapatkannya,”
“REI!!!” Andrei meraung kencang. Aku
mengaktifkan mode isolasi bunyi pada alat bantu dengarku sehingga tak
sedikitpun gelombang suara yang sempat tertangkap indera pendengaranku. Aku menulikan telinga, kembali sebagaimana aku dilahirkan.
“Ibu takkan pernah menyayangi anaknya yang
cacat, Andrei.”
Yogyakarta, 11 Mei 2015
A/N: Cerpen diikutsertakan dalam tantangan @KampusFiksi dengan tema #DongengJeruji.
Hey, it has been a long time since we last spoke and met each other, right? Do you still remember me? Anyway, I wonder no matter how much the time passes, you still have that freakin amazing writing skills. I do envy you. No, i mean I do adore you. Hahaha. nice to know that you are still writing such an awesome story like this. I hope that we can meet soon and let me ask you how to be an awesome writer.
BalasHapusd.n.a
hello.. thanks for spent your several minute of life to read this piece~
HapusI'm flattered, really. And of course, I hope we can meet asap. There's so many things I want to tell you too. Yep, I remember you :)