Pagi ini, kawasan Wall Street di
Manhattan gempar. Lalu lintas menjadi agak kacau. Terlihat di tengah keriuhan,
tiga unit mobil ambulans dan belasan petugas kepolisian sedang berjaga di depan
pintu sebuah hotel. Dua petugas medis tampak bergegas mengangkut sebuah kantung
berisi jenazah, ketika aku dan beberapa perwakilan dari departemen kesehatan
tiba di lokasi. Satu jam sebelumnya, Tuan Williamson menelpon bahwa telah
terjadi kasus pembunuhan terhadap para petinggi intelejen negara. Pihak
kepolisian sendiri sebenarnya jarang memanggil tim dari departemen lain. Namun dikarenakan
adanya kemungkinan pembunuhan dilakukan dengan menggunakan media racun, kami
pun dimintai bantuan dalam proses penyelidikannya.
“Public
Health Service?” Seorang pria paruh baya yang kuyakini berasal dari Biro
Investigasi Federal menyambutku dengan uluran tangan. Tampak sekali ia berusaha
untuk bersikap ramah meskipun tegang di wajahnya jelas mendominasi. Tentu saja,
karena ini bukan sekadar kasus kriminal biasa. Korban pembunuhan tragedi ini
merupakan orang-orang penting yang membawa segala kunci pertahanan negara. Pertahanan
seluruh Amerika. Dan meskipun wewenangku di sini hanyalah untuk mencari penyebab
kematian mereka, ada semacam cambuk imajiner
yang membuatku ingin berkomitmen untuk bekerja semaksimal mungkin.
Tanpa basa-basi, kami pun langsung
digiring memasuki salah satu kamar yang menjadi tempat pertemuan para pejabat
tersebut. Sedikit heran, mengetahui yang mereka pilih adalah kamar jenis
reguler dengan ruang tamu yang berukuran sedang.
“Berapa jumlah mereka?” tanyaku
kemudian. Sedikit bergidik ketika mendapati mayat seorang laki-laki berjas yang
kini tergolek lemas di tepi ranjang; satu-satunya yang belum dievakuasi dari
kamar ini.
“Sepuluh. Sungguh, bajingan itu
tidak main-main,” pria paruh baya yang bernama Greg tadi mendengus geram.
“Di mana sisanya?” Aku lalu menyentuh pergelangan
tangan mayat pria itu. Mengamati jika ada tanda-tanda kelumpuhan syaraf.
Greg memandangku ragu. Lalu berdehem.
“Enam diantaranya ditemukan di apartemen masing-masing,” ia lantas menyodorkan
kertas berisi data alamat anggota intelejen tersebut, yang rata-rata bisa ditempuh
dengan jangka waktu dua jam dari hotel ini.
“Asparagus!” ujarku spontan. Di meja besar ruang
tengah, masih tertata piring-piring dengan sisa makanan semalam.
“Ya. Tentu saja, racun yang mereka makan berasal
dari sana,”
“Tidak, Greg,” sanggahku. Mataku kemudian tertuju
pada kaleng-kaleng yang berada di tempat sampah. “Maksudku, tidak sepenuhnya
karena asparagus itu. Tetapi karena kaleng. Makanan kaleng!”
Alis putihnya mengerut tanda tak mengerti.
“Bakteri Clostridium
botulinum. Asparagus itu telah terkontaminasi jenis bakteri penghasil salah
satu racun paling mematikan di dunia karena proses sterilisasi kaleng yang
tidak sempurna. Gejala pada empat jam pertama adalah lelah otot, vertigo, dan
kesulitan bernapas. Itulah mengapa mereka masih sempat melakukan perjalanan
pulang ke rumah, hingga berakhir pada kematian,” Greg menahan napas selagi aku
mengambil sampel asparagus dan menjelaskan tentang racun yang telah membabat
nyawa sepuluh orang istimewa itu.
“Memang masih diperlukan observasi lebih lanjut
untuk mengetahui keberadaan mikroorganisme berbahaya itu. Namun, kurasa aku
sudah yakin 98% tentang hal ini. Dan.. untuk motif dan bagaimana cara pelaku
bisa memberikan makanan ini kepada mereka, terus terang, aku tidak bisa
membantu,”
“Well done,
you...” Greg tersenyum puas.
Setidaknya, misteri racun mematikan ini telah terselesaikan.
“Bolehkah aku pergi sekarang?”
KLEK!
Sebentuk borgol telah melingkar di pergelangan
tangan kananku. Jantungku serasa berhenti saat ini juga.
“K-Kenapa—“
“Satu. Satu pertanyaan untukmu...” tatapan dan
ekspresi pria paruh baya itu mendadak berubah mengerikan seperti monster kelaparan.
Aku panik. Tiba-tiba ia serupa dengan orang-orang berjas yang biasa kutemui di
televisi. Orang-orang politisi. Dingin, keji, culas. “...bagaimana kau bisa tahu bahwa korban tidak hanya ditemukan
di kamar ini? Kecuali jika kau sudah tahu tentang racun botulinum? Kecuali jika
kau pelakunya.”
“Jelaskan padaku, Gedeon Shovhovsky!!!”
Aku terkesiap. Ia menyebut namaku. Nama asliku.
“Gedeon Shovhovsky. Hahahaha! Kurasa sudah saatnya
Rusia mengirimkan agennya yang lebih kompeten. Dasar bodoh! Kau kira kami tak
bisa melacak identitas aslimu? Kau lupa kami punya NSA, hah?!”
Ayah, jangan
pergi lagi ya!
“Kau berhasil menggagalkan kesepakatan intelejen
kami. Tapi itu bukan berarti kami mundur! Racun botulinum milikmu tak melukai
kami yang masih tersisa di sini. Tahukah kau, racun yang akan kami berikan
sebagai pembalasan akan lebih menyakitkan,”
Gedeon,
sayang... Jangan diam disitu, ayo masuk. Aku sudah membuatkan sup kesukaanmu.
“Erin—” aku hendak mengatakan sesuatu, namun yang
keluar hanya erangan. Tenagaku lenyap. Tetes-tetes cairan pekat mengalir dari
pelipisku. Lidahku merasakan anyir. Aku menangis.
Suara gelak tawa serasa menumbuk-numbuk jantungku. “Erin?
Jadi itu namanya? Hahahaha! Sayang sekali kau harus jatuh cinta pada gadis dari
Tenessee itu. Kau tak tahu, bahwa pekerjaanmu sebagai agen rahasia bisa
membahayakan nyawanya? Padahal dia cantik, setia, dan rela mengorbankan
nyawanya sendiri untukmu. Well, dia
juga informan yang cukup bagus, meski hidupnya tak terlalu panjang,”
“HAH! Sentimen!”
Ayah! Kenapa
ayah harus pergi bekerja?
Gedeon, sayang.
Kenapa kau melepas cincin pernikahan
kita?
“... Siapa nama anakmu? Jonathan? Aku tak mungkin
tega membiarkan ia berkeliaran sendiri di dunia tanpa seorang ibu. Jadi...”
Aku tak ingin mendengar kelanjutan kata-kata itu. Yang
aku inginkan sekarang hanyalah satu tembakan di kepalaku untuk menyelesaikan
semua. Tak peduli lagi jika otakku meledak dan berhamburan, asal aku bertemu di
atas sana dengan anak dan istriku. Lagipula sebagian dendamku, tuntas.
Yogyakarta, 19 April 2015
Cerpen diikutsertakan dalam tantangan dari @KampusFiksi dengan tema #FiksiRacun berjumlah 900 kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar