Jatuh cinta. Satu rasa yang sama, dan tiap orang akan
mengekspresikannya dengan cara yang berbeda-beda. Ada tipe straight-foward, yang akan selalu berani untuk berubah menjadi
sosok Romeo atau Kesatria Bergitar di depan sang pujaan dan mengungkapkan
perasaannya secara langsung. Ada juga tipe agresif yang melakukan apapun demi mencuri
perhatian terlebih dahulu. Entah itu dengan cara pura-pura marah, pura-pura
belum makan, pura-pura jatuh, pura-pura nangis, pura-pura sakit sampai yang
paling cadas, pura-pura mati. Selain itu, ada pula tipe yang sebelum Angelina
Jolie beralih profesi jadi tukang bubur kacang ijo di perempatan Jalan Malioboro,
tidak akan pernah berani memperlihatkan apalagi menyatakan perasaannya. Tipe
yang hanya mampu mencintai orang yang disukainya dari jauh. Menghayati
punggungnya, dan memilih jatuh cinta
diam-diam.
Ngomong-ngomong, aku adalah tipe
yang terakhir. Sementara Aira, sahabatku yang ekstrovert itu, adalah tipe kedua. Kami adalah siswi kelas tiga SMA
yang senasib sepenanggungan, sama-sama merupakan korban pesona dari kakak
mentor di tempat bimbingan belajar. Entah, mungkin karena kita mulai bosan dengan
laki-laki yang sebaya dan mencoba untuk menjadi anti-mainstream. Yang jelas pria berusia dua puluh tujuh tahun
dengan kemeja semiformal dan bersenyum ramah nyatanya membuat kami lemah. Dan sungguh,
adalah sebuah ketidaksengajaan ketika di suatu sore usai mengikuti kelas
tambahan dan melihat kakak itu melempar senyum sebatas sapa, aku jatuh cinta.
Siapapun yang sedang merasakan jatuh
cinta, pasti juga akan merasakan perubahan dalam cara pandangnya terhadap dunia.
Semua hal yang ada di sekelilingnya tiba-tiba akan terasa indah dan bermakna. Bagi
orang kasmaran, tumpukan bebatuan kerikil dan debu di pinggir jalan adalah sebuah
skulptur alam yang menawan, rumit dan penuh filosofi. Ia akan melihat semak
sebagai rumpun bunga, sepeda butut sebagai kuda, dan si mbok tukang penjual
bubur kacang ijo sebagai... Angelina Jolie. Mungkin tak se-ekstrem itu, tapi
aku bisa membuktikan sendiri kekuatan ajaib yang biasa disebut the power of love itu. Dan berbeda
dengan Aira yang sering berlagak menanyakan soal yang jawabannya sudah jelas kepada
Kak Haris, mentor biologi yang disukainya, aku lebih suka sengaja datang
terlambat di kelas Kak Candra, orang yang sukses mencuri perhatianku itu, agar
bisa mengucapkan “Assalamu’alaikum”
dan dijawab “Wa’alaikumsalam” secara live-exclusive ditambah bonus senyuman
secerah matahari bulan Mei. Modus operandi yang kulakukan, sebisa mungkin selalu
kubuat tidak kentara. Sederhana. Ah, jika kau ingin merasakan sensasi asam-manis
selain dari buah delima, maka cobalah
cinta dalam diam.
“Kamu tahu, cinta yang dipendam sendiri adalah tanda
bahwa orang itu hanya mencintai dirinya sendiri. Egois,” ujar Aira dengan
penekanan di tiap kata-katanya. Dramatis.
Aku yang sedang serius mengerjakan
soal matematika, mengerutkan alis. Perhatianku lantas teralih padanya. “Begitu?”
Ia mengangguk pasti. Serius.
“Jadi, kamu mau bilang sama Kak
Haris? Berani?!” tanyaku.
Ia menggeleng pasti.
“Dasar! Lalu kenapa kamu bilang
begitu? Sok-sokan puitis banget, lagi,”
“Itu... aku kan, cuma mengutip
kata-katanya Kahlil Gibran. Yah, siapa tahu, nanti aku bakal mendapatkan
keberanian,” jawabnya sambil memeluk buku tipis berisi puisi-puisi karya
penyair Lebanon itu. “Kamu sendiri, mau memendam sampai kapan?”
“Besok,” jawabku tenang.
“Hah?! Serius?”
“Iya.”
“Sama Kak Candra?!”
“Sama Pak Kahlil Gibran.”
Lalu ada hening yang panjang. Aira manyun.
Kak Candra bagiku, serupa karakter
Tatsuya Fujisawa dalam novel Autumn in
Paris karya Ilana Tan yang jadi nyata. Tinggi, well-mannered, murah senyum, cerdas, dan yang paling kusukai
darinya adalah meskipun tidak bisa dibilang sangat tampan, roman mukanya tampak
selalu segar dan bercahaya seperti usai berwudhu. Maka aku yang dari dulu
bermusuhan dengan mata pelajaran matematika, perlahan mulai memahami materi
jika orang yang mengajariku adalah Kak Candra. Jangankan logaritma dan
persamaan linear dua variabel, matematika kontekstual untuk program master pun
akan berusaha untuk kupahami asal bisa bertemu dengannya setiap hari. Tak lagi
aku peduli tentang rumitnya trigonometri, jika kenyataan bahwa mencintai
seseorang yang sulit dijangkau menjadi hal yang lebih membingungkan. Tingkat kesulitan
soal-soal dimensi tiga pun tak seberapa jika dibandingkan fakta bahwa aku dan
dia seolah hidup di ruang dan dimensi yang berbeda. Aku dan dunia remajaku, dia
dengan kedewasaan dan segala prospek masa depan. Maka sampailah aku di sisi tergelap
seorang secret admirer, bergumul
dengan pikiran pesimis yang mengambil wujud serupa awan kulumus kelabu dan petir
di atas kepala.
Jika ada satu hal lagi yang
kupercayai perihal jatuh cinta, maka itu adalah kemampuannya menurunkan
imunitas tubuh. Karena pernah suatu ketika, aku berpaspasan dengan Kak Candra
di lorong kelas setelah mengantar Aira dari kamar mandi. Ia tersenyum. Aku
membalas. Kalau saja Aira tidak menggamit tanganku untuk terus berjalan, dapat
dipastikan aku akan terdiam di tempat. Tergugu seperti stupa keramat. Dan setelah
kami berjalan ke arah berlawanan, tak kusangka ia begitu cepat berbalik arah.
Sudut mataku menangkap sosok Kak Candra yang kemudian berjalan hanya beberapa
langkah di belakangku. Aku tak tahu mengapa hal sepele seperti ini mampu
mengaktifkan syaraf kepanikanku. Aku pun berusaha untuk bersikap biasa. Melangkahkan
kaki kanan, kiri, kanan, kiri, berusaha tidak terburu-buru. Namun yang ada
malah...
DUK!
Tas selempangku terbentur pintu di ujung lorong
dengan cukup keras. Aku tidak apa-apa. Tapi aku mendengar Kak Candra yang ada
di belakangku, tertawa kecil. Apakah ia menertawaiku? Mungkinkah ia tahu bahwa
aku dilanda nerveous akut? Sebegitu
jelasnya-kah? Karena kupikir saat itu tak ada hal lain yang berpotensi untuk
ditertawakan selain diriku, maka aku pun mendorong Aira untuk segera ambil
langkah seribu. Dengan muka semerah hidung Doraemon, aku ingin pergi jauh dari
sana. Bahkan kalau bisa, aku ingin operasi plastik, terbang ke Vietnam, buka
lapak sate kelabang, dan berganti identitas sebagai wanita bernama Nguyen.
MALU!
Malam harinya, badanku pun langsung
demam.
***
Sore ini, mata pelajaran fisika
tentang teori relativitas diajarkan oleh Kak Willy. Seorang mentor yang
terkenal dengan karakternya yang kocak sekaligus absurd. Karena dirinya, aku dan Aira kadang jadi suka berpikir,
apakah semua orang jenius selalu memiliki sisi ‘gila’-nya sendiri? Kak Willy
ini juga punya ciri khas lain, yakni setiap kali berbicara, kalimatnya diakhiri
bukan dengan tanda titik, melainkan dengan kekehan aneh bernada bass.
“Nah, karena materi hari ini sudah
selesai dan masih ada sisa waktu, mari kita icebreaking
saja hehehehe...” Ia lantas meraih daftar presensi kelas. Semua pun sudah tahu
bahwa bagian ini akan selalu menarik. Ini adalah sesi di mana Kak Willy akan
melontarkan sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak berkaitan dengan materi
pelajaran, dan memanggil satu persatu murid untuk kemudian disuruh menyebutkan
jawabannya. Tujuannya, semata untuk hiburan. Di pertemuan-pertemuan sebelumnya,
ia pernah menanyakan tentang lagu favorit, film favorit, superhero favorit,
episode Spongebob favorit, sekuel Power
Ranger favorit, dan pertanyaan-pertanyaan kepo bin absurd lainnya. “Yang
merasa namanya dipanggil, tolong angkat tangan dan sebutkan... mentor favorit
kalian dan alasannya. Oke?” Dan tidak terlupakan, “Hehehe...”
Ah!
Jantungku mendadak berdenyut keras. Wajah dan
telapak tanganku memanas. Karena tanpa kusadari, sesaat setelah instruksi dari
Kak Willy, jauh di dalam pikiranku, dalam hatiku, satu nama sudah terngiang
jelas.
“Nomor absen satu. Aira Ayuningty—”
“Kak HARIS!!!”
Aku langsung memandangi Aira yang
duduk di sebelahku tak percaya. Terheran-heran dengan semangat ’45 yang ia
miliki. Seandainya makhluk ini hidup di zaman penjajahan, aku yakin ia tak
memerlukan bambu runcing untuk membuat takut tentara Belanda karena tingkat desible teriakannya sudah cukup untuk
membuat musuh kocar-kacir.
“Apa alasannya? Hehehe...” tanya Kak
Willy.
“Karena... ganteng,” Pipi Aira
merona. Jawabannya terlalu jujur.
“Selanjutnya. Briliani Daisy,”
Aku mendengar namaku disebut. Segera
kupasang ekpresi muka senormal mungkin dan suara setenang mungkin agar tidak
ada yang menyadari bahwa jawabanku ini adalah sebenar-benarnya ungkapan
perasaan cinta. “Kak Candra.”
“Oh... Kenapa? Karena ganteng? Sama...
ya? Hehe...” tebak kak Willy sambil memandangiku dan Aira secara bergantian, membuat
kami bertanya-tanya apa maksudnya. Sialnya, aku tidak diberi kesempatan menyebutkan
alasanku. Padahal sudah kusiapkan alasan paling terselubung, yaitu karena Kak
Candra itu ramah, baik hati dan suka menabung.
Kak Willy hanya tersenyum simpul dan sudah bersiap
memanggil nama yang selanjutnya. Sebelum ia berkata, “Iya, sama-sama sudah
punya istri juga. Hehehehe...”
Aku tak tahu apa yang dirasakan Aira
saat ini. Apakah semangat ’45-nya seketika luntur tak bersisa? Ataukah ia mendadak
ingin melesat keluar kelas, mencari bambu runcing, lalu menghunuskannya pada
Kak Willy dan Kak Haris sebagai luapan hatinya yang patah?
Entah. Entah. Sungguh, hatiku sendiri pun sudah
koyak.
Yogyakarta, 10 April 2015
Yogyakarta, 10 April 2015
A/N: Cerpen ini diikutsertakan dalam lomba #GiveAwayJCDD yang diadakan oleh @ayanurhayani dan @iindrapurwana dengan jumlah 1303 kata. Beberapa tokoh dan adegan dalam cerpen ini terinspirasi berdasarkan kisah nyata, dengan sedikit perubahan. Hope you enjoy it ^^
sukaaaaa banget sama ceritanya, ada malu2nya, ada konyolnya juga, ga salah deh menang GA-JCDD.. btw selamat yaaaa
BalasHapusTerima kasih :)
Hapus