Pagi pertamaku di Havant High School
dibuka oleh adegan tidak menyenangkan: seorang senior berambut coklat mirip Keira
Knightly, menumpahkan semangkuk fruit
loops-nya ke wajahku. Melihat adanya kepura-puraan dalam ekspresi terkejutnya,
aku yakin bahwa dia memang melakukannya dengan sengaja.
“Ups... I’m sorry!” Teriakannya lantang dan dibuat-buat, hingga mengundang
perhatian semua murid yang sedang menikmati jam makan siang di kantin itu.
Rambut, wajah, buku-buku yang kubawa, dan sebagian bajuku yang berlepotan susu
dan potongan buah-buahan pun sukses menjadi bahan tertawaan. Klise. Sungguh
klise di mana aku yang sejak duduk di bangku sekolah dasar dijuluki nerd, kutu buku, cupu, freak, dan panggilan semacamnya, masih mendapatkan
perlakuan seperti sampah di SMA. Betapa sesungguhnya aku ingin menyeret gadis
yang kini memandangku rendah itu dan menyelupkan wajah arogannya ke dalam bak
cuci piring di sudut sana. Dari yang aku dengar, gadis di depanku ini bernama
Candace. Amerika tulen, cantik, populer, dan berkuasa. Aku pun tahu jika
rencana pembalasan dendam itu benar-benar kulakukan, perang dunia ketiga akan
tersulut saat itu juga. Telunjuk-telunjuk masih tertuju ke arahku selagi tawa
kian menggema. Aku enyah. Candace menyeringai puas.
Usai membersihkan diri di kamar
mandi—aku juga membawa pakaian cadangan karena tahu pasti akan di-bully—kemudian aku pun masuk ke kelas
baruku dan disambut dengan tatapan aneh oleh seisi kelas. Aku memang terbiasa
dipandang sebagai orang yang tak punya gaya, tapi saat ini mereka menatapku
seolah aku alien dari bintang antah-berantah yang bermata juling dan
memancarkan sinar serta lendir hijau dari sekujur tubuhku. Karena jujur, aku pun
sebenarnya tidak mengerti. Kacamataku memang tebal, namun aku tidak buruk rupa
dan culun serupa Betty La Vea dengan giginya yang dipenuhi kawat berdiameter
dua senti. Dan meskipun rambut blonde-ku
sering acak-acakan dan kukepang sekenanya, aku selalu rajin keramas dengan shampoo merk ternama dari Guatemala.
“Maaf, apakah ada yang salah
denganku?” Tanyaku pada seseorang yang duduk di bangku sebelahku. “Kenapa
mereka menatapku seperti itu?”
Gadis itu menggeleng-gelengkan
kepala tanda heran. Ia menatapku iba lalu mendesah, “Itu... ada yang usil
menempeli tulisan di punggungmu,”
Aku terkesiap. Langsung kuraba
punggungku dan kutemukan kertas yang ditulisi dengan spidol tebal: BULLY AKU. Harga = 5 $.
***
Murahan! Lelucon dengan tulisan itu
benar-benar murahan. Pelakunya jelas tak lebih dari orang yang memiliki selera
humor rendahan, ber-IQ jongkok, dan bermasa depan suram. Sepanjang perjalanan
pulang aku mengumpat dalam hati, menahan rasa dongkol. Sepanjang hari, aku
menahan keinginanku untuk enyah dari tempat mengerikan itu dan berlari pulang. Maka
ketika bel berbunyi, tanpa ba-bi-bu aku melesat cepat menuju rumah.
Sesampainya, aku serta-merta melempar tasku ke kamar melalui jendela dan
berlari ke setapak di halaman belakang yang langsung mengarah ke New Forest. Di
hutan itulah, sejak kecil aku sering menghabiskan waktuku untuk sekadar melepas
penat maupun bermain-main. Dan kali ini aku telah siap mencurahkan segala keluh
kesahku, pada seseorang yang sudah menungguku di hutan sana.
“Hei!” Sapaku pada laki-laki yang
sedang terduduk menekuri batang pohon tumbang. Ia menoleh. Melihat senyum ramah
di wajahnya, seketika memicu diriku untuk ikut menarik kedua ujung bibirku.
Seperti biasa, bertukar senyum seperti ini sudah menjadi semacam kode perijinan
untuk saling terbuka satu sama lain. Kekesalanku dengan mudahnya menguap. Di
sini hanya akan ada diriku, dan seorang sahabat bernama Ethan.
“Sedang
apa?” Aku mendekat dan melihatnya mengelupas beberapa bagian kulit pohon. Tak
jauh dari sikunya, merayap seekor serangga besar berwarna hitam mengkilat
dengan capit mengerikan di bagian kepalanya. Sesekali sayap serangga itu
berderak-derak, namun tidak terlihat ingin terbang meninggalkan pohon.
“Lucanus
cervus. Ini adalah kumbang yang paling langka di Inggris. Kurasa aku sangat
beruntung karena yang dewasa seperti ini hanya hidup selama satu minggu,
sementara 6 tahun hidupnya dihabiskan hanya sebagai larva,”
“Sekarang aku sedang membantunya membuat
sarang. Di pohon-pohon yang hampir membusuk seperti inilah, betinanya akan
menyimpan dan menetaskan telur-telurnya,”
Aku terpukau. Pada kecantikan
gerak-gerik serangga langka itu, juga pada Ethan yang selalu lebih tahu banyak
hal. Jauh lebih banyak dibandingkan aku yang telah makan bangku sekolah lebih
dari sembilan tahun. Itulah yang membuat dirinya sangat unik, mengetahui Ethan
adalah seorang penderita dislexia. Sejak
umur 9 tahun, ia keluar dari sekolah publik dan mendapatkan bimbingan khusus di
rumahnya. Itupun masih bermasalah karena ia belum lepas dari kesulitannya
membaca. Namun lebih dari itu, menurutku, Ethan adalah seorang pembelajar alam.
Kekuatannya ada pada intuisi dan ekplorasi tanpa batas untuk menangkap
pengetahuan di sekitarnya. Tak heran bila dia juga yang mengajariku cara membuat
kerajinan dari limbah kertas dan kayu, membuat lilin,membuat permen jahe maupun
donat madu. Bahkan saat ini ia sedang berusaha mengembangkan pembangkit listrik
tenaga angin skala kecil miliknya sendiri.
“Jadi, bagaimana hari pertama di
Havant?” tanyanya setelah kami sampai di Palliate
Shelter, sebuah nama yang kami berikan pada pondok kayu di atas
cabang-cabang besar pohon breech.
Sejak aku, Ethan, dan ayah membangunnya sepuluh tahun lalu, pondok ini serasa
menjadi rumah kedua meskipun tak ada apapun di dalamnya. Palliate Shelter menawarkan tempat strategis untuk melihat New
Forest secara utuh. Melihat bagaimana angin bergemerisik membelai dedaunan oak, ranting yew, pucuk-pucuk pinus, dan tupai kecil yang berlarian gelisah
karena terganggu tidur siangnya. Dilihat dari ketinggian, pemandangan cahaya
matahari sore yang menyelinap di sela pepohonan ini dijamin akan melembutkan
hati siapapun.
“Jujur, Havant adalah tempat
mengerikan. Aku tidak yakin bisa bertahan di sana selama tiga tahun,” ujarku
putus asa.
“Kenapa? Ada pengganggu lagi?”
“Arggh! Mereka lebih dari sekadar
pengganggu, Ethan. Hampir setengah dari mereka berasal dari Amerika yang tidak
mengenal attitude. Salah satunya
Candace—okay, aku malas membahasnya,”
Ethan tersenyum simpul.
"Menurutmu, apakah aku seaneh itu?
Apakah aku terlalu jelek di mata mereka?” tanyaku, menuntut kejujuran.
“Mereka tidak mengganggumu karena
alasan itu, Freya. Jadi, jangan pernah merasa seperti itu. You’re normal. You’re... beautiful.”
Untuk beberapa saat, aku tertegun.
Meskipun sejak kecil aku bersahabat dengan Ethan, dan kalimat yang terlontar
itu bisa saja hanya bertujuan untuk menghiburku, tetap saja ini adalah pertama
kalinya aku dikatakan cantik oleh seorang laki-laki. Melihatku terdiam,
sepertinya Ethan bisa membaca pikiranku yang diam-diam melambung tinggi.
“Mungkin hanya karena ini...” kedua
tangan Ethan terangkat dan melepas kacamataku. “Cobalah memakai lensa kontak,
biar tidak terlihat seperti nerd.
Tapi...”
“Tapi?”
“Kalau nyatanya kau masih di-bully juga, itu artinya...”
“Artinya?” tanyaku tidak sabar.
“Artinya kau memang dilahirkan bully-able.”
“HYA!!!” Aku yang tersinggung,
hendak mendorong bahunya. Namun ia berkelit dan berlari tergopoh-gopoh menuruni
tangga. Aku mengejarnya. Ia terpeleset. Jatuh menggelinding dengan konyol dari
lima undakan terakhir. Ia meringis kesakitan dan tawaku tak tertahankan. Saat
aku dan Ethan kembali ke halaman belakang rumah, matahari sudah sepenuhnya
tenggelam. Hanya tersisa galur-galur cahaya jingga terakhir di balik bukit.
Bintang-bintang bermunculan menyambut malam.
“Sampai jumpa besok,” aku bergegas
masuk lewat pintu belakang namun tangan Ethan menahanku.
“T-tunggu. Ada sesuatu yang ingin
kukatakan padamu, Freya.” Untuk pertama kalinya aku melihat
Ethan begitu serius.“Sebenarnya
aku ingin mengatakan ini berhari-hari yang lalu, tapi aku takut kau marah dan
membenciku,”
Kurasai jantungku berdegup. “Ada
apa, Ethan?”
“Besok... aku akan pergi ke Amerika.
Ada sekolah bagus yang menerima penderita dislexia.
Jadi... kita akan berpisah untuk tiga tahun. Maafkan aku,”
Satu hal yang sudah kuyakini sejak
dulu, bahwa Ethan adalah seseorang yang tidak terduga. “Apa maksudmu aku akan
marah? I’m happy for you,”
kurengkuhkan tanganku ke pundaknya. Memeluknya. Saat itulah baru terasa bahwa
ada pahit di dadaku. Tak ada Ethan berarti tak ada lagi kebersamaan di Palliate Shelter. Pun aku tak bisa
berkeluh kesah tentang nasib burukku di sekolah, tentang Candace yang jika
memiliki wajah sesuai dengan sifatnya, pasti akan berwajah seperti Shrek.
Karena aku takkan pernah bisa menyembunyikan apapun dari Ethan. Apapun. Termasuk
tangisku di bahunya saat ini.
***
Sejak kepergian Ethan ke Amerika,
aku baru menyadari satu fakta: bahwa aku hanya bisa menjadi diriku sendiri
ketika bersamanya. Maka tak terbayangkan lagi betapa lelahnya kehidupan SMA-ku
tanpa teman berbagi seperti dirinya. Anehnya, terpisah jarak bukannya membuat
ingatanku tentangnya perlahan memudar, melainkan membuatnya semakin kekal. Rindu
yang terlampau pekat, memaksa logikaku mulai menafsirkan sesuatu yang lain.
Apalagi sore ini, ketika aku melihatnya di bandara. Setelah tiga tahun tinggal
di Amerika, aku sempat khawatir kalau-kalau ia terpengaruh gaya hidup orang
sana. Tapi Ethan adalah Ethan. Ia masih laki-laki Inggris berpembawaan
sederhana dan baik hati. Yang berbeda hanyalah tubuhnya yang tampak lebih
kurus, potongan rambut pendek, mantel coklat, dan jantungku yang berdetak lebih
cepat.
Aku dan Ethan sama-sama kuliah di
Winchester University setahun kemudian. Di sana kami meniti karir bersama dan
tetap saling mendukung meskipun berada di jurusan yang berbeda. Kami pun
semakin tak terpisahkan. Semua mengalir begitu saja hingga tibalah suatu hari,
ketika Ethan mengungkapkan perasaan terpendamnya. Sama denganku, ternyata Ethan
jatuh hati padaku sejak tiga tahun lalu, di bawah bintang malam yang masih muda,
sepulang dari Palliate Shelter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar