Rabu, 04 Maret 2015

[Short Story] Kekasih Untuk Humaira


           Adalah di suatu pagi yang khusyuk,ketika aku menerima kabar dari seorang loper koran tentang kematian Humaira. Saat itu panas matahari dari ufuk timur sedang merobek selimut-selimut kabut yang menggantung dekat jendela kayu rumahku. Aroma sisa hujan semalam menguar dari jalan-jalan di perkampungan begitu aku membuka pintu. Di hadapanku, tubuh pemuda berumur delapan belas tahun itu menggigil. Semua orang pun pasti tahu, itu bukanlah akibat dari ritualnya menyusuri ladang demi ladang, satu rumah ke rumah lainnya, mengantarkan surat kabar dengan sepeda bututnya sejak pagi buta. Bukan. Pemuda itu menggigil, namun tidak kedinginan. Maka aku tahu dapat tahu dengan pasti, bahwa ada sesuatu yang sedang memporak-porandakan dadanya.

           “Dia sudah tiada, mas. Humaira…”    Tangan kurus namun cekatan milik pemuda itu gemetar saat menyerahkan korannya padaku. Ia lantas berbalik dan segera mengayuh sepedanya sebelum menggumamkan kondisi Humaira yang katanya, ditemukan dalam keadaan mengenaskan.

           Ah, Humaira. Humaira. Humaira. Ialah kembang desa yang dikutuk memiliki paras menawan tiada tandingan, yang akan selalu membuat semua pemuda di desa ini jatuh cinta padanya. Semua. Murid laki-laki sekolah menengah atas, mahasiswa kuliahan, pedagang, pengangguran, si pengantar koran. Pun tak terkecuali, diriku. Dan di malam sebelum kematiannya, kami sempat bertemu di sebuah warung dekat perbatasan. Ia mengenakan kerudung berwarna hitam, senada dengan cadar yang hanya memperlihatkan kedua matanya yang bening. Di bawah temaram lampu minyak kala itu, aku tenggelam pada sepasang mata yang telah menjadi definisi mutlak dari keindahan. Jika setiap kali menatapnya dengan cara seperti ini—disertai jantungku yang berdetak liar—terhitung sebagai sebuah dosa, dapat dipastikan aku kekal di neraka. Namun tak seperti biasanya, malam itu Humaira tak banyak bicara.

           “Aku ingin bunuh diri saja.”


            Ada yang hancur di dalam hatiku tatkala mendengar kalimatnya. Kupikir aku salah dengar, hingga akhirnya aku pun mengerti. Setelah dua puluh tahun ia menjalani hidup bersama kutukan, kalimat tersebut merupakan perwujudan dari emosinya yang wajar. Bahwa semua sudah di luar batas kemampuannya. Bahwa ia terlampau lelah dengan caci maki dan umpatan yang keluar dari mulut gadis-gadis kepada dirinya setiap kali ia keluar rumah. Tak lain adalah karena tidak ada satu laki-laki pun yang jatuh cinta pada mereka. Semuanya sudah tersihir oleh paras Humaira yang serupa dewi Yunani.

           “Tidak baik bicara seperti itu. Bagaimanapun juga, wajah dan seluruh raga kita adalah anugerah yang wajib kita syukuri,” aku meraih tangannya dengan amat lembut, takut erat genggamanku yang sedikit saja bisa membuatnya kesakitan. Aku amat menyayanginya. Mencintainya. Telah dijadikannya aku manusia paling beruntung ketika diantara puluhan laki-laki yang jatuh cinta padanya, ia memilih diriku. “Ingatlah bahwa Tuhan tidak pernah memberikan cobaan melebihi kemampuan hamba-Nya. Aku tidak mau kau menyerah. Dan aku tidak akan menyerah atas cinta kita, mengerti?”

           “Lalu bagaimana denganmu? Walaupun gadis-gadis itu tahu bahwa aku adalah kekasihmu, para laki-laki tidak akan membiarkanmu hidup tenang, mas. Aku takut… sangat takut jika mereka nanti mencelakaimu.”

           Di kejauhan terdengar bunyi bel sepeda milik si loper koran, sebelum sosoknya kemudian menghilang di jalan perbukitan yang menurun. Suara radio di ruang tamu yang sedang menyiarkan berita perihal program-program Pak Soeharto, menyadarkanku dari lamunan kejadian semalam. Seorang anak laki-laki kecil dengan gigi yang masih jarang tampak berlari ke arahku sambil menengadahkan tangannya.

           “Sudah diambil baut remnya?” tanyaku.

           Ia mengangguk. Dari saku bajunya, ia mengeluarkan benda kecil yang tadi kuminta untuk dilepas dari sepeda si loper koran sebelum pemuda itu pergi. Aku tersenyum puas, lantas memberinya uang lima puluh rupiah sebagai imbalan. Sekarang aku bisa menghela napas lega karena telah tuntas membalaskan kematiannya, kepada pemuda brengsek yang malam itu seusai pertemuan terakhirku dengan Humaira, dengan tega merenggut nyawa gadis yang kucintai.

           Aku pernah bertanya mengapa Humaira memilihku, dan bukan yang lain. Ia menjawab dengan pipinya yang kemerah-merahan, “Mungkin karena kau adalah seorang perantau yang datang dari jauh.” Aku berjalan ke dapur sementara kenangan dan senyumnya mengisi otakku. Kuraih sebilah pisau yang sudah kuasah sebelumnya. Sebentar lagi, Humaira. Aku akan menemuimu.

           Ah, Humaira. Humaira. Humaira.




Yogyakarta, 1 Maret 2015
Cerpen ini diikutsertakan dalam tantangan menulis @KampusFiksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar