Senin, 23 Maret 2015

[Short Story] Gradasi Rasa



            Suara sirine meraung-raung di jalanan padat Massachusetts, malam itu selepas hujan. Membumbung, mengudara, seolah mengukuhkan keberadaannya sebagai nama lain dari malapetaka. Lagipula sudah terlampau lama mindset kita terbentuk, yang ketika mendengar suara khas tersebut, langsung berspekulasi bahwa kemungkinan telah terjadi sebuah tragedi: ambulans yang tengah mengevakuasi pasien kritis atau mobil polisi yang sedang mengejar buronan rampok bank kelas kakap. Namun kedua hal tersebut tak terbesit sama sekali di benakku, ketika gadis berponi itu muncul lagi dengan tatapan nanar, mendapatiku sedang bercumbu dengan wanita lain di sudut taman kota. Situasi ini berbahaya. Jelas lebih menakutkan daripada tragedi apapun.

            Hari-hari berikutnya setelah kedapatan selingkuh dengan Janice, kupikir aku tidak akan bisa melihat Naomi lagi. Ya, gadis berponi yang berhasil membuatku jatuh hati itu ternyata sama sekali tidak marah seperti dugaanku. Justru saat kutemui di studionya, lagi-lagi ia memamerkan senyum yang selalu mengingatkanku pada gula-gula kapas. Seolah tak terjadi apa-apa semalam, ia meletakkan kuasnya lantas berlari menyambutku. Dengan antusiasme yang meletup-letup, ia menarik lenganku dan menunjukkan proyek terbarunya yang masih separuh jadi.

            “Bagaimana menurutmu?” Kedua mata jernih nan indah miliknya menyorotiku.      Di saat bersamaan, semangat serupa api yang masih membara di matanya menyadarkanku akan selisih umurku dengan Naomi, 15 tahun lamanya. “Apa yang kau tangkap dari lukisanku ini?”

            Aku berdehem. Canggung. “Ehm, kau tidak ingin menyelesaikannya dulu?”

            Air mukanya berubah. Menunjukkan ekspresi sedikit kesal yang menurutku justru semakin lucu.   “Ini sudah selesai, tahu!”

            “Oh, ya? Rupanya kau sengaja tidak mewarnai separuh sayap kupu-kupu ini. Maaf. Sama seperti karyamu yang lain... out of the box,” aku menerka. “Rasa cinta yang memudar. Itukah maknanya?”

            Senyumnya merekah. Pertanda tebakanku benar. Untunglah.

        “Judulnya Gradasi Rasa. Merepresentasikan sifat manusia yang mudah berubah. Dan perubahan tersebut kadang teramat drastis. Benci menjadi cinta, dan sebaliknya, cinta pun dengan mudahnya menjadi benci. Sesederhana itu.”

           Sesederhana itu, katanya. Gadis muda berdarah Asia itu dapat berkata demikian karena ia tidak tahu apapun tentang rasanya terjebak dalam sebuah dilema. Karena ia naif. Karena ia tak pernah tahu bahwa aku memang mencintainya, namun tak pernah berniat untuk membawa hubungan ini kemana-mana. Lantas kubiarkan ia melambung tinggi bersama imajinasinya tentang kisah kami, sendiri. Perihal cinta, Naomi akan selalu menerjemahkannya dengan kuas dan warna-warna pada kanvas. Sementara aku lebih senang menghitung gelas dan botol-botol wine yang berdenting di lorong senyap lagi sesat.

            Tak pernah kuduga sebelumnya, Naomi dan dunianya membuatku semakin terjerat. Memantik perasaan bersalah yang aneh tiap kali aku menghabiskan waktu bersama wanita-wanita lain tanpa sepengetahuannya. Seolah tiap ekspresi kebahagian yang ia lukiskan, kini secara bersamaan tergores pula di relung hatiku. Kala memeluk Janice, aku merasa seperti memeluk Naomi. Begitu juga ketika bersama Shopia, Caitlin, Bethany, Clara maupun Annie, aku masih dibayang-bayangi senyum Naomi. Ah, senyum gula kapas.

Kali ini aku benar-benar jatuh cinta.

Aku tak menginginkan yang lain lagi selain Naomi. Aku ingin tinggal disisinya. Menjadikannya teman untuk menghabiskan sisa waktu hidupku. Ya, kurasa aku telah mengalami apa yang disebut gradasi rasa.

            Sirine terdengar meraung-raung dari luar jendela apartemenku. Malam itu malapetaka terasa nyata. Aku menyesal karena tidak membuang cincin yang hendak kuberikan saat melamar Janice esok hari. Sayang, Naomi menemukannya terlebih dahulu.

Dan sialnya ia sudah membunuhku.




Yogyakarta, 23 Maret 2015

A/N: Cerpen diikutsertakan dalam tantangan menulis @KampusFiksi dengan tema #RahimPuisi, metarfosis puisi menjadi cerpen. Inspirasi: Pemandangan di dalam Telur karya Dwi Purnomo.

7 komentar:

  1. aku merasa bahwa diriku tak sepuitis wanita berambut hitam yang lurus sebahu ini ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, seorang fathur maen ke blog-ku yang gaje ini? Demi apa? Nyahaha...
      Lha itu, kalimatmu sendiri udah puitis xD

      Aku juga merasa kalau nggak bakat nulis catatan di blog secara konsisten kayak kamu yang jam terbangnya udah tinggi sebagai blogger. Kadang pengen bisa, tapi setelah tulisan jadi, cuma disimpen di diary wahaha :D

      Hapus
  2. Awww Naomi ternyata manis-manis sadis, ya. Semacam yandere. ><

    BalasHapus
    Balasan
    1. yup, semacam. Akunya lagi suka eksplor tipe karakter ini sih :}

      Hapus
  3. Panji Sadewo hadir ... pagi tdi knlam di ig ... hmmmm ... mahir nian ... tpi aku lbh suka puisimu lhooo ...

    BalasHapus