Jumat, 10 April 2015

[Short Story] Dear, Mr. Perfectly Fine...




            Jatuh cinta.  Satu rasa yang sama, dan tiap orang akan mengekspresikannya dengan cara yang berbeda-beda. Ada tipe straight-foward, yang akan selalu berani untuk berubah menjadi sosok Romeo atau Kesatria Bergitar di depan sang pujaan dan mengungkapkan perasaannya secara langsung. Ada juga tipe agresif yang melakukan apapun demi mencuri perhatian terlebih dahulu. Entah itu dengan cara pura-pura marah, pura-pura belum makan, pura-pura jatuh, pura-pura nangis, pura-pura sakit sampai yang paling cadas, pura-pura mati. Selain itu, ada pula tipe yang sebelum Angelina Jolie beralih profesi jadi tukang bubur kacang ijo di perempatan Jalan Malioboro, tidak akan pernah berani memperlihatkan apalagi menyatakan perasaannya. Tipe yang hanya mampu mencintai orang yang disukainya dari jauh. Menghayati punggungnya, dan memilih jatuh cinta diam-diam.

            Ngomong-ngomong, aku adalah tipe yang terakhir. Sementara Aira, sahabatku yang ekstrovert itu, adalah tipe kedua. Kami adalah siswi kelas tiga SMA yang senasib sepenanggungan, sama-sama merupakan korban pesona dari kakak mentor di tempat bimbingan belajar. Entah, mungkin karena kita mulai bosan dengan laki-laki yang sebaya dan mencoba untuk menjadi anti-mainstream. Yang jelas pria berusia dua puluh tujuh tahun dengan kemeja semiformal dan bersenyum ramah nyatanya membuat kami lemah. Dan sungguh, adalah sebuah ketidaksengajaan ketika di suatu sore usai mengikuti kelas tambahan dan melihat kakak itu melempar senyum sebatas sapa, aku jatuh cinta.

            Siapapun yang sedang merasakan jatuh cinta, pasti juga akan merasakan perubahan dalam cara pandangnya terhadap dunia. Semua hal yang ada di sekelilingnya tiba-tiba akan terasa indah dan bermakna. Bagi orang kasmaran, tumpukan bebatuan kerikil dan debu di pinggir jalan adalah sebuah skulptur alam yang menawan, rumit dan penuh filosofi. Ia akan melihat semak sebagai rumpun bunga, sepeda butut sebagai kuda, dan si mbok tukang penjual bubur kacang ijo sebagai... Angelina Jolie. Mungkin tak se-ekstrem itu, tapi aku bisa membuktikan sendiri kekuatan ajaib yang biasa disebut the power of love itu. Dan berbeda dengan Aira yang sering berlagak menanyakan soal yang jawabannya sudah jelas kepada Kak Haris, mentor biologi yang disukainya, aku lebih suka sengaja datang terlambat di kelas Kak Candra, orang yang sukses mencuri perhatianku itu, agar bisa mengucapkan “Assalamu’alaikum” dan dijawab “Wa’alaikumsalam” secara live-exclusive ditambah bonus senyuman secerah matahari bulan Mei. Modus operandi yang kulakukan, sebisa mungkin selalu kubuat tidak kentara. Sederhana. Ah, jika kau ingin merasakan sensasi asam-manis selain dari buah delima, maka cobalah cinta dalam diam.

            “Kamu tahu, cinta yang dipendam sendiri adalah tanda bahwa orang itu hanya mencintai dirinya sendiri. Egois,” ujar Aira dengan penekanan di tiap kata-katanya. Dramatis.

            Aku yang sedang serius mengerjakan soal matematika, mengerutkan alis. Perhatianku lantas teralih padanya. “Begitu?”

            Ia mengangguk pasti. Serius.

            “Jadi, kamu mau bilang sama Kak Haris? Berani?!” tanyaku.

            Ia menggeleng pasti.

            “Dasar! Lalu kenapa kamu bilang begitu? Sok-sokan puitis banget, lagi,”

            “Itu... aku kan, cuma mengutip kata-katanya Kahlil Gibran. Yah, siapa tahu, nanti aku bakal mendapatkan keberanian,” jawabnya sambil memeluk buku tipis berisi puisi-puisi karya penyair Lebanon itu. “Kamu sendiri, mau memendam sampai kapan?”

            “Besok,” jawabku tenang.

            “Hah?! Serius?”

            “Iya.”

“Sama Kak Candra?!”

            “Sama Pak Kahlil Gibran.”

Lalu ada hening yang panjang. Aira manyun.
           
          Kak Candra bagiku, serupa karakter Tatsuya Fujisawa dalam novel Autumn in Paris karya Ilana Tan yang jadi nyata. Tinggi, well-mannered, murah senyum, cerdas, dan yang paling kusukai darinya adalah meskipun tidak bisa dibilang sangat tampan, roman mukanya tampak selalu segar dan bercahaya seperti usai berwudhu. Maka aku yang dari dulu bermusuhan dengan mata pelajaran matematika, perlahan mulai memahami materi jika orang yang mengajariku adalah Kak Candra. Jangankan logaritma dan persamaan linear dua variabel, matematika kontekstual untuk program master pun akan berusaha untuk kupahami asal bisa bertemu dengannya setiap hari. Tak lagi aku peduli tentang rumitnya trigonometri, jika kenyataan bahwa mencintai seseorang yang sulit dijangkau menjadi hal yang lebih membingungkan. Tingkat kesulitan soal-soal dimensi tiga pun tak seberapa jika dibandingkan fakta bahwa aku dan dia seolah hidup di ruang dan dimensi yang berbeda. Aku dan dunia remajaku, dia dengan kedewasaan dan segala prospek masa depan. Maka sampailah aku di sisi tergelap seorang secret admirer, bergumul dengan pikiran pesimis yang mengambil wujud serupa awan kulumus kelabu dan petir di atas kepala.

            Jika ada satu hal lagi yang kupercayai perihal jatuh cinta, maka itu adalah kemampuannya menurunkan imunitas tubuh. Karena pernah suatu ketika, aku berpaspasan dengan Kak Candra di lorong kelas setelah mengantar Aira dari kamar mandi. Ia tersenyum. Aku membalas. Kalau saja Aira tidak menggamit tanganku untuk terus berjalan, dapat dipastikan aku akan terdiam di tempat. Tergugu seperti stupa keramat. Dan setelah kami berjalan ke arah berlawanan, tak kusangka ia begitu cepat berbalik arah. Sudut mataku menangkap sosok Kak Candra yang kemudian berjalan hanya beberapa langkah di belakangku. Aku tak tahu mengapa hal sepele seperti ini mampu mengaktifkan syaraf kepanikanku. Aku pun berusaha untuk bersikap biasa. Melangkahkan kaki kanan, kiri, kanan, kiri, berusaha tidak terburu-buru. Namun yang ada malah...

            DUK!

          Tas selempangku terbentur pintu di ujung lorong dengan cukup keras. Aku tidak apa-apa. Tapi aku mendengar Kak Candra yang ada di belakangku, tertawa kecil. Apakah ia menertawaiku? Mungkinkah ia tahu bahwa aku dilanda nerveous akut? Sebegitu jelasnya-kah? Karena kupikir saat itu tak ada hal lain yang berpotensi untuk ditertawakan selain diriku, maka aku pun mendorong Aira untuk segera ambil langkah seribu. Dengan muka semerah hidung Doraemon, aku ingin pergi jauh dari sana. Bahkan kalau bisa, aku ingin operasi plastik, terbang ke Vietnam, buka lapak sate kelabang, dan berganti identitas sebagai wanita bernama Nguyen. MALU!

            Malam harinya, badanku pun langsung demam.


***


            Sore ini, mata pelajaran fisika tentang teori relativitas diajarkan oleh Kak Willy. Seorang mentor yang terkenal dengan karakternya yang kocak sekaligus absurd. Karena dirinya, aku dan Aira kadang jadi suka berpikir, apakah semua orang jenius selalu memiliki sisi ‘gila’-nya sendiri? Kak Willy ini juga punya ciri khas lain, yakni setiap kali berbicara, kalimatnya diakhiri bukan dengan tanda titik, melainkan dengan kekehan aneh bernada bass.

            “Nah, karena materi hari ini sudah selesai dan masih ada sisa waktu, mari kita icebreaking saja hehehehe...” Ia lantas meraih daftar presensi kelas. Semua pun sudah tahu bahwa bagian ini akan selalu menarik. Ini adalah sesi di mana Kak Willy akan melontarkan sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak berkaitan dengan materi pelajaran, dan memanggil satu persatu murid untuk kemudian disuruh menyebutkan jawabannya. Tujuannya, semata untuk hiburan. Di pertemuan-pertemuan sebelumnya, ia pernah menanyakan tentang lagu favorit, film favorit, superhero favorit, episode Spongebob favorit, sekuel Power Ranger favorit, dan pertanyaan-pertanyaan kepo bin absurd lainnya. “Yang merasa namanya dipanggil, tolong angkat tangan dan sebutkan... mentor favorit kalian dan alasannya. Oke?” Dan tidak terlupakan, “Hehehe...”

            Ah!

Jantungku mendadak berdenyut keras. Wajah dan telapak tanganku memanas. Karena tanpa kusadari, sesaat setelah instruksi dari Kak Willy, jauh di dalam pikiranku, dalam hatiku, satu nama sudah terngiang jelas.

            “Nomor absen satu. Aira Ayuningty—”

            “Kak HARIS!!!”

           Aku langsung memandangi Aira yang duduk di sebelahku tak percaya. Terheran-heran dengan semangat ’45 yang ia miliki. Seandainya makhluk ini hidup di zaman penjajahan, aku yakin ia tak memerlukan bambu runcing untuk membuat takut tentara Belanda karena tingkat desible teriakannya sudah cukup untuk membuat musuh kocar-kacir.

            “Apa alasannya? Hehehe...” tanya Kak Willy.

            “Karena... ganteng,” Pipi Aira merona. Jawabannya terlalu jujur.

            “Selanjutnya. Briliani Daisy,”

            Aku mendengar namaku disebut. Segera kupasang ekpresi muka senormal mungkin dan suara setenang mungkin agar tidak ada yang menyadari bahwa jawabanku ini adalah sebenar-benarnya ungkapan perasaan cinta. “Kak Candra.”

            “Oh... Kenapa? Karena ganteng? Sama... ya? Hehe...” tebak kak Willy sambil memandangiku dan Aira secara bergantian, membuat kami bertanya-tanya apa maksudnya. Sialnya, aku tidak diberi kesempatan menyebutkan alasanku. Padahal sudah kusiapkan alasan paling terselubung, yaitu karena Kak Candra itu ramah, baik hati dan suka menabung.

Kak Willy hanya tersenyum simpul dan sudah bersiap memanggil nama yang selanjutnya. Sebelum ia berkata, “Iya, sama-sama sudah punya istri juga. Hehehehe...”

            Aku tak tahu apa yang dirasakan Aira saat ini. Apakah semangat ’45-nya seketika luntur tak bersisa? Ataukah ia mendadak ingin melesat keluar kelas, mencari bambu runcing, lalu menghunuskannya pada Kak Willy dan Kak Haris sebagai luapan hatinya yang patah?


Entah. Entah. Sungguh, hatiku sendiri pun sudah koyak.





Yogyakarta, 10 April 2015

A/N: Cerpen ini diikutsertakan dalam lomba #GiveAwayJCDD yang diadakan oleh @ayanurhayani dan @iindrapurwana dengan jumlah 1303 kata. Beberapa tokoh dan adegan dalam cerpen ini terinspirasi berdasarkan kisah nyata, dengan sedikit perubahan. Hope you enjoy it ^^






2 komentar:

  1. sukaaaaa banget sama ceritanya, ada malu2nya, ada konyolnya juga, ga salah deh menang GA-JCDD.. btw selamat yaaaa

    BalasHapus