Minggu, 19 April 2015

[Short Story] A Story of Sentimental Agent


source: skeletales.tumblr.com



            Pagi ini, kawasan Wall Street di Manhattan gempar. Lalu lintas menjadi agak kacau. Terlihat di tengah keriuhan, tiga unit mobil ambulans dan belasan petugas kepolisian sedang berjaga di depan pintu sebuah hotel. Dua petugas medis tampak bergegas mengangkut sebuah kantung berisi jenazah, ketika aku dan beberapa perwakilan dari departemen kesehatan tiba di lokasi. Satu jam sebelumnya, Tuan Williamson menelpon bahwa telah terjadi kasus pembunuhan terhadap para petinggi intelejen negara. Pihak kepolisian sendiri sebenarnya jarang memanggil tim dari departemen lain. Namun dikarenakan adanya kemungkinan pembunuhan dilakukan dengan menggunakan media racun, kami pun dimintai bantuan dalam proses penyelidikannya.

            “Public Health Service?” Seorang pria paruh baya yang kuyakini berasal dari Biro Investigasi Federal menyambutku dengan uluran tangan. Tampak sekali ia berusaha untuk bersikap ramah meskipun tegang di wajahnya jelas mendominasi. Tentu saja, karena ini bukan sekadar kasus kriminal biasa. Korban pembunuhan tragedi ini merupakan orang-orang penting yang membawa segala kunci pertahanan negara. Pertahanan seluruh Amerika. Dan meskipun wewenangku di sini hanyalah untuk mencari penyebab kematian mereka, ada semacam cambuk imajiner yang membuatku ingin berkomitmen untuk bekerja semaksimal mungkin.

            “Benar,” jawabku. “Tatcher. Josh Tatcher dari CDC.”

           Tanpa basa-basi, kami pun langsung digiring memasuki salah satu kamar yang menjadi tempat pertemuan para pejabat tersebut. Sedikit heran, mengetahui yang mereka pilih adalah kamar jenis reguler dengan ruang tamu yang berukuran sedang.

          “Berapa jumlah mereka?” tanyaku kemudian. Sedikit bergidik ketika mendapati mayat seorang laki-laki berjas yang kini tergolek lemas di tepi ranjang; satu-satunya yang belum dievakuasi dari kamar ini.

            “Sepuluh. Sungguh, bajingan itu tidak main-main,” pria paruh baya yang bernama Greg tadi mendengus geram.

“Di mana sisanya?” Aku lalu menyentuh pergelangan tangan mayat pria itu. Mengamati jika ada tanda-tanda kelumpuhan syaraf.
          
           Greg memandangku ragu. Lalu berdehem. “Enam diantaranya ditemukan di apartemen masing-masing,” ia lantas menyodorkan kertas berisi data alamat anggota intelejen tersebut, yang rata-rata bisa ditempuh dengan jangka waktu dua jam dari hotel ini. 

“Asparagus!” ujarku spontan. Di meja besar ruang tengah, masih tertata piring-piring dengan sisa makanan semalam.

“Ya. Tentu saja, racun yang mereka makan berasal dari sana,”

“Tidak, Greg,” sanggahku. Mataku kemudian tertuju pada kaleng-kaleng yang berada di tempat sampah. “Maksudku, tidak sepenuhnya karena asparagus itu. Tetapi karena kaleng. Makanan kaleng!”

Alis putihnya mengerut tanda tak mengerti.

“Bakteri Clostridium botulinum. Asparagus itu telah terkontaminasi jenis bakteri penghasil salah satu racun paling mematikan di dunia karena proses sterilisasi kaleng yang tidak sempurna. Gejala pada empat jam pertama adalah lelah otot, vertigo, dan kesulitan bernapas. Itulah mengapa mereka masih sempat melakukan perjalanan pulang ke rumah, hingga berakhir pada kematian,” Greg menahan napas selagi aku mengambil sampel asparagus dan menjelaskan tentang racun yang telah membabat nyawa sepuluh orang istimewa itu.

“Memang masih diperlukan observasi lebih lanjut untuk mengetahui keberadaan mikroorganisme berbahaya itu. Namun, kurasa aku sudah yakin 98% tentang hal ini. Dan.. untuk motif dan bagaimana cara pelaku bisa memberikan makanan ini kepada mereka, terus terang, aku tidak bisa membantu,”

Well done, you...” Greg tersenyum puas. Setidaknya, misteri racun mematikan ini telah terselesaikan.

“Bolehkah aku pergi sekarang?”

KLEK!

Sebentuk borgol telah melingkar di pergelangan tangan kananku. Jantungku serasa berhenti saat ini juga.

“K-Kenapa—“

“Satu. Satu pertanyaan untukmu...” tatapan dan ekspresi pria paruh baya itu mendadak berubah mengerikan seperti monster kelaparan. Aku panik. Tiba-tiba ia serupa dengan orang-orang berjas yang biasa kutemui di televisi. Orang-orang politisi. Dingin, keji, culas. “...bagaimana kau bisa tahu bahwa korban tidak hanya ditemukan di kamar ini? Kecuali jika kau sudah tahu tentang racun botulinum? Kecuali jika kau pelakunya.”

“Jelaskan padaku, Gedeon Shovhovsky!!!”

Aku terkesiap. Ia menyebut namaku. Nama asliku.

Tiba-tiba kurasakan sebuah hantaman keras di kepalaku. Teramat keras hingga yang tersisa hanya pening. Pandanganku menggelap. Di saat yang hampir bersamaan, bayangan sebuah halaman dengan rumput hijau dan bunga-bunga daffodil berkelebat. Di sana, kulihat wajah memukau seorang gadis yang sedang bergurau dengan anak laki-laki di pangkuannya. Mata anak itu berbinar-binar tatkala menatapku. Jonathan. Ayah! Panggilnya. Aku merindukanmu! Ia melompat girang ke arahku. Aku sangat bahagia, sampai hantaman itu datang lagi. Kali ini di perutku. Lalu di wajahku. Di dada dan di perutku lagi. Petang kembali menguasaiku.

“Gedeon Shovhovsky. Hahahaha! Kurasa sudah saatnya Rusia mengirimkan agennya yang lebih kompeten. Dasar bodoh! Kau kira kami tak bisa melacak identitas aslimu? Kau lupa kami punya NSA, hah?!”

Ayah, jangan pergi lagi ya!

“Kau berhasil menggagalkan kesepakatan intelejen kami. Tapi itu bukan berarti kami mundur! Racun botulinum milikmu tak melukai kami yang masih tersisa di sini. Tahukah kau, racun yang akan kami berikan sebagai pembalasan akan lebih menyakitkan,”

Gedeon, sayang... Jangan diam disitu, ayo masuk. Aku sudah membuatkan sup kesukaanmu.

“Erin—” aku hendak mengatakan sesuatu, namun yang keluar hanya erangan. Tenagaku lenyap. Tetes-tetes cairan pekat mengalir dari pelipisku. Lidahku merasakan anyir. Aku menangis.

Suara gelak tawa serasa menumbuk-numbuk jantungku. “Erin? Jadi itu namanya? Hahahaha! Sayang sekali kau harus jatuh cinta pada gadis dari Tenessee itu. Kau tak tahu, bahwa pekerjaanmu sebagai agen rahasia bisa membahayakan nyawanya? Padahal dia cantik, setia, dan rela mengorbankan nyawanya sendiri untukmu. Well, dia juga informan yang cukup bagus, meski hidupnya tak terlalu panjang,”

“HAH! Sentimen!”

Ayah! Kenapa ayah harus pergi bekerja?

Gedeon, sayang. Kenapa kau melepas cincin pernikahan kita?  

“... Siapa nama anakmu? Jonathan? Aku tak mungkin tega membiarkan ia berkeliaran sendiri di dunia tanpa seorang ibu. Jadi...”
Aku tak ingin mendengar kelanjutan kata-kata itu. Yang aku inginkan sekarang hanyalah satu tembakan di kepalaku untuk menyelesaikan semua. Tak peduli lagi jika otakku meledak dan berhamburan, asal aku bertemu di atas sana dengan anak dan istriku. Lagipula sebagian dendamku, tuntas.






Yogyakarta, 19 April 2015 
Cerpen diikutsertakan dalam tantangan dari @KampusFiksi dengan tema #FiksiRacun berjumlah 900 kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar