Senin, 11 Mei 2015

[Short Story] Cerita Bui

           



       Jam menunjukkan tepat pukul empat sore. Matahari yang condong di sisi kananku sedang memamerkan teriknya—mencetak jelas bayangan dari jeruji-jeruji besi serta figur tubuhku yang tegap menyusuri lorong. Meski begitu, bukan berarti aku bisa mengabaikan rasa asing yang serta merta menyergap. Samar kudengar derap sepatu, derit-derit pintu, orang yang bergumam, cericit tikus, atau sesekali suara benda yang seperti dibanting—hampir tak ada yang luput dari indera pendengaran karena di tempat senyap ini, semuanya akan terpantul. Menggema. Belum lagi bau besi yang terkorosi waktu serta tembok tua yang sebagian besar catnya sudah terkelupas. Bersama bau busuk (yang entah berasal dari apa), semua bersekongkol menguarkan aroma aneh di udara. Aku mendadak mual. Tempat ini, kurasa, adalah senyata-nyatanya kemurungan. Di beberapa sudut tampak sipir penjara bermuka garang yang sedang sigap berjaga. Sama seperti bangunan ini, mungkin otot-otot wajah mereka juga sudah mati. Hanya satu-dua dari mereka yang bersedia mengangguk ala kadarnya, lalu tersenyum sebagai tanda hormat selagi aku berlalu. Paling tidak, secuil keramahan itulah yang membuatku berpikir bahwa tempat ini tak seburuk kelihatannya.

            Satu hal lagi yang menguatkanku untuk berdiri di tempat ini, ialah ingatanku akan cerita-cerita Ibu. Beserta kekhawatirannya yang berlebihan pada kakakku.

“Kamu sungguh mau bekerja di sana? Sudah dipikirkan baik-baik?” tanya Ibu.

            “Ya. Aku sudah yakin. Narapidana juga butuh bercerita dan didengarkan,”

            “Baguslah. Kalau begitu sekalian jaga kakakmu. Pastikan kalau hidupnya terjamin dan masih diperlakukan dengan manusiawi. Awasi dia dari pegawai-pegawai penjara yang mungkin saja menyakiti Andrei. Oh, ya Tuhan—” Sesaat ketika aku merasa bahwa Ibu peduli padaku, isak tangis pun terdengar. Memastikan bahwa yang ada di pikirannya hanyalah kakakku. Selalu seperti itu.



Berbeda dengan Andrei, aku memiliki kecerdasan intrapersonal. Secara intuisi kakakku berkembang sebagai scientist, sementara aku adalah nurturer yang berhati sensitif. Sejak kecil, ketika sudah bisa mendengar, aku dijejali cerita-cerita Ibu. Tentu saja aku tak benar-benar ingat kapan itu dimulai. Yang aku tahu, Ibu menceritakan hal yang sama hampir setiap saat; tentang kakakku. Meskipun beberapa bagiannya sudah hilang dimakan lupa, namun masih kuingat raut wajahnya yang berseri saat bercerita tentang kakakku yang bisa menyabet juara satu berturut-turut saat masih SD. Tak dapat disembunyikannya lagi rasa bangga yang meruah, ketika kakakku memenangi berbagai olimpiade fisika dan kompetisi debat bahasa inggris saat SMP dan SMA. Bahkan kemajuan kecil seperti ketika kakakku berkencan dengan seorang gadis, Ibu gembira bukan main. Segala respon itu hanya berlaku untuk Andrei. Respon yang tidak akan pernah kudapatkan bahkan ketika aku berhasil lulus dari fakultas psikologi dengan predikat cum laude. Seiring bertambahnya usia, semakin kusadari bahwa semua sikap Ibu pada Andrei adalah berlebihan. Aku yang hanya terpaut satu tahun dari Andrei, mulai merasakan kecemburuan yang terakumulasi atas kehidupannya yang sempurna. Sepanjang hidupku aku tertekan di bawah bayang-bayang seorang kakak. Dan hari ini, aku bertekad untuk memulai karierku di sini. Berharap dapat memperbaiki sistem keluarga yang timpang ini. Tentunya, dengan caraku sendiri.

            Narapidana pertama yang berkonsultasi denganku hari ini bernama Pak Jono. Terpidana kasus pembunuhan. Ia sudah menjalani masa tahanannya selama lima belas tahun. Kurang lima tahun lagi. Namun melihat kondisi kesehatannya sekarang, aku khawatir sirosis hati merenggut nyawanya terlebih dahulu sebelum ia sempat menghirup udara bebas. Ia berkata bahwa ia hanya menginginkan satu hal, yaitu bertemu putrinya sebelum ajal.  Begitulah seterusnya, aku mendengarkan berbagai keluh kesah dari berbagai macam latar belakang. Dari seorang kakek yang dituduh mencuri pepaya di kebun tetangga, sampai pejabat daerah yang terkena kasus korupsi pengadaan konservasi hutan lindung. Seperti tujuan konseling pada umumnya, secara bertahap kehadiranku di sini adalah bermaksud untuk membantu mereka menjalani masa-masa krisisnya. Menghilangkan emosi-emosi negatif untuk bersiap menghadapi kehidupan normalnya lagi setelah bebas dari penjara.

            Waktu pun terus bergulir. Cerita demi cerita terus mengalir. Hingga sampai pada narapidana ketujuh, seorang pemuda yang sedikit terganggu mentalnya. Saat kuajak bercakap-cakap, tatapannya tidak fokus. Ia berbicara melantur. Ataukah ia hanya berpura-pura? Jujur, aku mengalami kesulitan membaca ekspresinya.

            “Bagaimana kabar Anda?” tanyaku sementara perhatianku masih berkutat dengan lembar-lembar dokumen berisi biodata narapidana.

            Aku meliriknya. Laki-laki itu menyapukan pandangan ke penjuru ruangan yang biasanya digunakan sebagai ruang interogasi ini. CCTV di sudut ruangan berkedip-kedip. Meski sudah kuperiksa sebelumnya, bahwa kamera perekam itu sebenarnya sudah rusak dan berfungsi sebagai penggertak belaka. Satu hal yang setidaknya masih membuatku nyaman, adalah karena ruangan ini kedap suara.

“Ah, aku mau kembali ke sel saja!”

“T-tunggu. Boleh tahu siapa nama Anda?”
            
            “Apakah kau seorang dokter?” ia bertanya balik.
            
            “Bukan.”
            
            “Psikopat,”
            
            “Psikolog.” ralatku.
          
         “Hm. Menurutku keduanya sama saja. Ah, kau masih saja bodoh, Rei. Pantas saja Ibu lebih menyayangiku meskipun aku jadi pesakitan di sini,” Aku menelan ludah. Ternyata instingku benar, ia adalah kakakku. Lima tahun terkungkung sebagai seorang pesakitan membuatnya susah dikenali. Jambang lebat menutupi wajahnya dan badan yang dulunya tegap itu menjadi agak bungkuk dan kurus. Cekungan hitam juga tampak di bagian bawah matanya. Kakakku adalah korban obat-obatan terlarang. Entah bagaimana ia bisa terjerumus, sementara kupikir hidupnya sudah terlalu sempurna untuk dinodai.

            “Bagaimana kabar Ibu, adikku tersayang?” Suara Andrei
      
           “Kau—tak berhak lagi mendapat perhatian lebih darinya. Kau mengkhianati kasih sayangnya.”
   
           Andrei tergelak. “Jadi, apa yang akan kau lakukan setelah datang kemari? Membunuhku untuk membalaskan dendammu? Begitu?” Ia mendecah sinis. "Kekanakan."

            Aku bungkam selagi menahan gemetar. Matanya menatapku tajam. Mata milik Ibu.

            “Kalau begitu lakukan. Bersiaplah menggantikanku membusuk di sini,”

            “Aku tak segampang itu.”

            CLAK! CLAK! Sebuah paku bersarang masing-masing di bola mata Andrei. Adalah sebuah keberuntungan dapat memasuki penjara ini sebagai konselor karena tak ada seorang sipir pun yang curiga jika aku membawa senjata tajam.

            Andrei menggelepar. Darah bercucuran membasahi wajahnya.

       “Jika salah seorang anak tidak memperoleh kasih dan perhatian dari ibunya, maka tidak seorang pun dari anak-anaknya yang lain berhak mendapatkannya,”

      “REI!!!” Andrei meraung kencang. Aku mengaktifkan mode isolasi bunyi pada alat bantu dengarku sehingga tak sedikitpun gelombang suara yang sempat tertangkap indera pendengaranku. Aku menulikan telinga, kembali sebagaimana aku dilahirkan.


            “Ibu takkan pernah menyayangi anaknya yang cacat, Andrei.”






Yogyakarta, 11 Mei 2015

A/N: Cerpen diikutsertakan dalam tantangan @KampusFiksi dengan tema #DongengJeruji.

2 komentar:

  1. Hey, it has been a long time since we last spoke and met each other, right? Do you still remember me? Anyway, I wonder no matter how much the time passes, you still have that freakin amazing writing skills. I do envy you. No, i mean I do adore you. Hahaha. nice to know that you are still writing such an awesome story like this. I hope that we can meet soon and let me ask you how to be an awesome writer.

    d.n.a

    BalasHapus
    Balasan
    1. hello.. thanks for spent your several minute of life to read this piece~
      I'm flattered, really. And of course, I hope we can meet asap. There's so many things I want to tell you too. Yep, I remember you :)

      Hapus