Sabtu, 27 Juni 2015

[Short Story] Tualang

image source: http://smesnyobraz.tumblr.com/



        Alam mimpiku mendadak sirna lagi, tak lain tak bukan karena kepalaku yang terantuk dinding besi. Entah untuk yang ke berapa kali aku tertidur selama perjalanan di atas KA Sri Tanjung ini. Dengan pelipis yang berdenyut serta mata terkantuk-kantuk, aku lantas melayangkan pandangan ke luar jendela. Siang belum beranjak. Pemandangan deretan rumah penduduk dan petak-petak sawah masih tampak berkelebat-kelebat. Sejenak aku merasa pusing dan ingin kembali mengatupkan mata untuk melanjutkan tidurku, namun urung kulakukan. Sebuah kalimat sederhana—bagiku bukan merupakan nasihat melainkan seperti sebuah ajakan—dari seorang sahabat lama tiba-tiba terngiang dan mengusir segala penat. Kalimat, yang karenanya juga aku jadi tertantang untuk menukarkan waktu libur kuliahku dengan perjalanan 15 jam yang membuat pegal tulang ekor ini. Setahun hampir berlalu, namun aku masih ingat betul. Ekspresi itu. Semangat itu.

      “...nggak semuanya bisa dipelajari di buku. Dolano wis! [1]

      Kalimat itu bagai sebuah tamparan, namun anehnya tidak terasa sakit. Kuakui, ini merupakan perjalanan jauh pertama yang kulakukan sendiri. Tanpa ayah, tanpa ibu. Perlu diketahui pula bahwa bukan hal yang mudah untuk meminta izin kepada orangtuaku yang sedikit overprotective itu. Lagipula selama ini, aku memang lebih suka menghabiskan waktu sepulang sekolahku di rumah saja. Tak ayal, kemudian muncul berbagai julukan dari teman-teman untukku, seperti anak rumahan, kutu buku, sampai belang-belang alias belajar pulang-belajar pulang. Namun sejak bersahabat dekat dengan Umma, perlahan aku berubah. Keinginan untuk berpetualang itu muncul. Dan kalimat terakhir sebelum kepindahannya ke Banyuwangi itulah yang menjadi penggerak utamaku. Aku memutuskan untuk menabung habis-habisan demi mencukupi keperluan mbolang, tentu setelah ayah dan ibu akhirnya mengizinkanku untuk pergi. Dari kampung halamanku Yogyakarta, aku pun memulai petualangan pertamaku menuju kota sahabatku di ujung timur Pulau Jawa.

      Jam sudah menunjukkan tepat pukul sembilan malam ketika aku tiba di stasiun kota. Sesuai petunjuk Umma, aku memilih angkutan umum untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. Tak sampai sepuluh menit, hawa yang tadinya terasa biasa saja berubah menjadi sedingin es. Umma pernah bercerita padaku bahwa rumahnya terletak di jalur menuju kawah Gunung Ijen.

       “Wuduuuh, saking ademe aku wis biasa adus sedino pisan![2] Whahahah...”


         Begitulah Umma. Hal yang tak pernah kulupakan darinya adalah pembawaannya yang apa adanya, namun tak pernah kehabisan cara untuk menghidupkan suasana. Berbeda denganku yang cenderung introver dan lebih suka menjadi pendengar, Umma yang kukenal adalah gadis pemberani, senang bertualang, dan pencetus ide-ide unik. Mungkin itu sebabnya, dulu ia ditunjuk ibu guru untuk menjadi ketua kelas. Meski kelincahannya itu, kadang-kadang juga bisa memicu keonaran di kelas. Betapa masih lekat di kepala, ingatan ketika Umma yang tertawa-tawa usil, ditarik paksa keluar kelas oleh segerombolan anak laki-laki lalu diikat ramai-ramai di bawah pohon jambu. Kemudian dengan kompak, semua anak laki-laki itu duduk dan menari Kecak di sekelilingnya.

    “Hei! Hei! Kenapa ini, kok Umma diikat begini?! Hayo, dilepas!” Pak Wandi yang kebetulan lewat saat jam istirahat, melihat huru-hara itu dan hendak membubarkannya.

        “Biarin, pak. Dia ini liar, pak! Anaknya nggak bisa diem sama sekali, pak!”

        “Iya, pak!” sahut yang lain.

        Pak Wandi terdiam, lalu tertawa kecil. “Oh... ya sudah,” lanjut beliau sebelum melenggang pergi.

       Melihat Pak Wandi yang ternyata tidak memihaknya, Umma semakin meronta sementara tawa semua anak laki-laki itu meledak. Ia terus menjadi objek pem-bully-an sampai aku yang kasihan melihatnya, bergegas datang untuk melepaskan ikatan rafianya. Setelah itu, Umma bercerita padaku bahwa ia mendapati anak laki-laki itu membawa kartu remi dan memainkannya secara sembunyi-sembunyi saat pelajaran berlangsung. Umma kemudian mengancam akan mengadukan mereka pada BP, sebelum akhirnya terjadi drama penculikan itu. Tak gentar, Umma berkata bahwa ia akan terus menggunakannya sebagai ancaman jika anak-anak bandel itu terlambat atau enggan membayar iuran kelas. Selama kepemimpinannya, kelas XII A saat itu sering memperoleh  juara lomba antar kelas, seperti lomba kebersihan dan keindahan taman, lomba mading, lomba choir, sampai lomba makan kerupuk Agustus-an. Ia adalah sosok leader di balik kekompakan kelas. Maka ketika Umma berkata bahwa ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke tingkat kuliah, hatiku bak hancur berkeping-keping.


      “Tapi... kenapa, Um? Kamu kan bisa nyari beasiswa? Pasti ada jalan—”

      "Aku nggak bisa. Ini sudah perintah umi dan abi. Selama ini aku tinggal di Jogja kan, sudah merepotkan paman. Semua biaya sekolahku pun juga sudah ditanggung sama beliau. Sekarang aku harus kembali ke Banyuwangi buat bantu umi dan abi...”

       Mobil angkutan umum yang kunaiki pun berhenti dan aku baru tersadar dari lamunanku. Sesaat, aku menghela napas dan mengusap mataku yang tanpa kusadari sudah berkaca-kaca. Udara dingin seketika menerpa serasa menembus ke tulang, begitu aku menginjakkan kaki di luar. Belum sempat aku mengedarkan pandang untuk mencari rumah Umma, teriakan yang kurindukan terdengar dari dalam sebuah warung makan kecil.

       “Sinta?!! Ciiiiin! Hoe!!”

***

       Jika semalam dingin terasa menembus tulang, maka dingin di subuh ini seolah mendedah kulit orang. Ibu sedang menaikkan intonasinya beberapa oktaf dari seberang telepon gara-gara aku tidak bisa dihubungi semenjak tiba di Banyuwangi. Sementara itu, rahangku terlalu kaku untuk menjelaskan secara panjang kali lebar tentang handphone-ku yang kehabisan baterai dan aku tidak menemukan stop kontak di stasiun. Ditambah, aku kelelahan sehingga tidak sempat men-charge begitu sampai di rumah Umma. Butuh waktu dua kali sepuluh menit untuk meyakinkan beliau bahwa aku sudah sampai di Banyuwangi dengan selamat sentosa.

      “Jadi... kamu mau ngajakin aku main ke mana?” tanyaku pada Umma, ketika sarapan buatan nenek sudah terhidang.

      Umma terkekeh. “Sebenarnya aku ingin ngajak kamu ke kawah Ijen, lihat blue-fire. Tapi akunya yang bosan. Gimana kalau ke tempat lain dulu? Ke Ijen bisa besok-besok, lah. Hm... Sepertinya kita butuh peta! Kita butuh peta!” jawabnya sambil mengacungkan-acungkan ikan lemuru yang telah tertancap mengenaskan di garpunya. Beruntung, umi dan abi  Umma segera bergabung di meja makan sebelum gadis itu sempat menggulung taplak meja untuk dijadikan Peta—saking menghayati perannya menjadi Dora the Explorer.

       “Kamu ini, katanya pulang dari Jogja mau bantu umi sama abi. Bantu mbelgedes, maen aja roh kerjaannya,” seloroh abi. Mengerlingkan mata jenakanya yang juga diwariskan pada Umma.            

      “Ehh, enggak ya, Bi! Bohong! Aku selalu bantu umi, kok. Coba tanya, siapa yang belanja ke pasar. Siapa yang bersihin warung setiap pagi sebelum buka. Siapa yang promosi ke temen-temen buat main ke kawah Ijen biar bisa makan di warung kita. Hayo, siapa, hayo?!”            

      “Iya, iyaaa. Duuh, kalau soal debat memang kamu juaranya wis. Berisik. Hm... kenapa kalian nggak coba maen ke Taman Nasional Alas Purwo? Mumpung Sinta di sini, kan?”

      “Hah?! Ke Alas Purwo, Bi? Bukannya dulu abi yang larang Umma main kesana? Nanti kalau diculik genderuwo gimana?!” sahut Umma.

       “Hush, nggak boleh ngomong gitu. Ya itu kan, karena dulu kamu masih kecil. Lagipula gimana kamu mau diculik, demitnya kalah ganas sama kamu, Um, Um...”

      Umma nyengir. “Iya, juga ya, Bi. Aku masuk kesitu demitnya paling langsung pamitan pergi atau pura-pura nggak kenal,”

       “Demitnya ketemu kamu langsung sungkem, Um,”

       “Atau mungkin karena mukanya Umma kayak begal ya, Bi??"

       “Demitnya jadi sungkan,”

     Selain oseng-oseng ikan lemuru, nasi tempong, dan topik perihal dedemit yang dihiasi gelak tawa ini, cerita tentang keindahan Taman Nasional Alas Purwo dari abi membuatku kian antusias. Rumah, dari beragam spesies flora dan fauna endemik—di samping image-nya sebagai kawasan hutan paling wingit di Pulau Jawa—merupakan keunikan tersendiri yang amat mengundang rasa penasaran. Maka pagi ini, tanpa ragu lagi, aku dan Umma segera berkemas untuk pergi menjelajahinya.

***

    Destinasi pertama penjelajahan Taman Nasional Alas Purwo kami adalah tempat penangkaran penyu di Pantai Ngagelan. Sebelum itu, aku dan Umma terlebih dahulu melewati Pos Rawa Bendo, gerbang utama dari taman nasional, guna membayar retribusi dan mengurus sewa mobil jeep lengkap dengan guide tour. Mulai dari sini, bisa kulihat cahaya matahari yang pada awalnya melimpah, perlahan meredup—terhalang oleh cabang dan ranting pepohonan bambu yang saling bertindihan—dan semakin teduh lagi seiring kami memasuki kawasan hutan. Geretak suara ban mobil yang melindas dedaunan kering di atas aspal basah, menjadi pembuka sebelum sunyi didominasi oleh kicau burung dan derit-derit serangga. Tak berlebihan kurasa, jika kukatakan jalan ini serupa portal untuk memasuki dunia yang benar-benar berbeda.

       “Mbak Zu! Ini pantainya berapa kilometer lagi?” tanya Umma pada guide tour kami, yang sepertinya sedikit kaget dengan intonasi sahabatku yang impulsif ini. Wanita yang berumur sekitar dua puluh lima tahun itu berambut cepak dan sedikit tomboy. Sekilas raut wajahnya menunjukkan bahwa dia bukan tipe yang pandai beramah-tamah dan sabar.

       “Ehm... Pantai Ngagelan masih tiga kilometer lagi,”

       “Jauh amat.”

    “Kita kan baru sepuluh meter keluar dari pos, Um...” sahutku pelan. Terkadang, temanku satu ini memang minta dijitak.

        “Oh, iya iya...”

     Selagi Umma mengganggu konsentrasi Mbak Zu dengan mengajukan pertanyaan yang sama setiap lima ratus meter, aku sibuk melayangkan tatapan ke luar jendela. Barisan rapi pohon-pohon mahoni di kanan-kiri jalan membuatku serasa terhipnotis. Berkali-kali, kudapati diriku seolah-olah terisap ke dalamnya—seperti adegan dalam sebuah film di mana aku berlari dari kejaran monster yang melesat-lesat di sela pepohonan—dan disadarkan kembali oleh tawa Umma yang duduk di sampingku.

     Di sepanjang perjalanan, beberapa kali kami melihat fauna penghuni suaka seperti biawak, kucing hutan, serta sekelompok lutung yang berkeliaran bebas. Termasuk juga—kami merasa amat beruntung—menyaksikan burung merak jantan dengan bulu tosca nan eksotis itu, sesekali hinggap di cabang pepohonan. Jantung pun mendadak terpacu ketika Mbak Zu kemudian juga menjelaskan bahwa di jalur rimba perawan seperti ini, ada kemungkinan kita akan berpaspasan dengan hewan ganas seperti macan tutul. Namun sampai kemudian kita menginjakkan kaki di lembutnya pasir Pantai Ngagelan, hewan-hewan yang kita jumpai masih yang jinak saja.

         Begitu memasuki pusat penangkaran, kami disambut oleh seorang petugas yang kemudian menjelaskan kepada kami semua hal tentang penyu. Di sana, kami melihat sepuluh kolam yang digunakan sebagai tempat penampungan bayi-bayi penyu atau tukik yang baru lahir.

        “Tidak seperti kura-kura yang seluruh hidupnya dihabiskan di darat, penyu hanya datang ke daratan kalau sedang bertelur. Selebihnya, mereka tinggal di perairan laut. Masalahnya, keselamatan dari telur-telur ini sangat rawan karena di area pantai banyak sekali predator seperti biawak, babi hutan, termasuk manusia, yang suka memburunya untuk dijadikan makanan sebelum sempat menetas,” sementara pria paruh baya itu bercerita, Umma sudah mengambil seekor tukik dan meletakkannya di atas telapak tangannya sambil menjerit-jerit gemas.

           “Nah, yang itu namanya tukik Penyu Lekang atau Abu-Abu. Di sana masih ada jenis Penyu Hijau, Penyu Sisik, sama Penyu Belimbing,

              “Sampai umur berapa penyu ini di tampung di kolam, Pak?” tanyaku.

          “Hm, perlu waktu tiga bulan sampai tukik-tukik ini siap dilepas ke laut. Wah, sepertinya kalian beruntung sekali karena kebetulan, nanti ada kegiatan pelepasan tukik Penyu Abu-Abu ke laut. Banyak turis-turis mancanegara juga. Silahkan ikut serta.”


           Aku tak tahu apakah Umma menyadari momen ajaib ini, atau tidak. Yang jelas, ada rasa bahagia yang meluap ketika aku mengambil salah satu dari ratusan tukik itu. Aku lantas meletakkannya di atas pasir pantai dengan sangat hati-hati, takut kalau-kalau genggaman yang sedikit erat saja bisa melukai tubuh makhluk kecil yang rapuh itu. Mataku pun tak berkedip saat mengawasinya berjalan, membentuk bekas di pasir yang dilaluinya. Menjauh dan terus menjauh, hingga akhirnya menyentuh garis pantai, lalu hilang—setelah sempat diombang-ambingkan ombak samudera. Aku tak pernah tahu bahwa saat-saat seperti ini bisa begitu menggetarkan. Haru melindap di dada. Aku merasa dekat dengan rumah.

            “Apa mereka nggak merasa takut, ya?” tanyaku, menatap lurus pada debur ombak di kejauhan yang kemudian dicerai-berai oleh karang. Buih-buih air yang lembut itu lalu diterpa angin dan membentuk serupa kabut yang menyelimuti pantai. Rasanya sulit membayangkan tukik-tukik itu bisa bertahan di habitat yang ganas seperti ini.

           “Ya pasti takut, lah. Tadi kan, mereka masih tinggal di kolam yang nyaman dan hangat. Masih ada pak petugas yang rajin memberinya makan. Nah, sekarang bayangin aja, mereka tiba-tiba sudah berada di laut yang dingin dan gelap. Makanan pun harus nyari sendiri. Belum lagi banyak hiu, hiiii,” Umma mengambil tukik terakhir yang ada di wadah. “Tapi... Kalau mereka tetep berada di kolam, gimana mereka mau tumbuh? Ya, nggak?"

         “Rasanya pasti menakutkan keluar dari zona nyaman yang udah memanjakan kita dengan semua ketersediaan. Kita nggak pernah bisa menebak bahaya apa yang bakal kita hadapi di dunia luar. Dan, beneran... itu emang serem,” Umma mendekatkan wajahnya pada tukik terakhirnya. “Hoe, coba lihat deh! Yang ini wajahnya kayak Mbak Zu! Sumpah ora ngapusi [3], MHAHAHA!!”

        Aku ikut tergelak. Mbak Zu yang hanya beberapa meter berdiri di belakangnya sudah menampakkan ekspresi awas-saja-nanti-bakal-aku-lempar-ke-jalur-rimba-buat-makanan-macan-tutul. Melihatnya, sontak membuat tawa kami bungkam.

           Akhirnya, Umma melepaskan tukiknya ke laut. “Tidak ada yang salah dengan rasa takut. Semua orang pada dasarnya sedang menghadapi cobaan dan tantangannya masing-masing. Tapi, pasti akan lebih mudah dan menyenangkan kalau kita berjuang sama-sama. Jadi, jangan pernah merasa sendiri,” gadis itu menarik ujung bibirnya membentuk senyum penuh arti. “Kamu sudah berani meninggalkan kolammu. Sekarang tunggulah tantangan, pelajaran, dan hal-hal baru menarik lainnya yang akan datang menghampirimu.” 

     Senja sebentar lagi singgah di kaki langit Banyuwangi. Berpuluh-puluh orang pria terlihat sedang mendorong perahu slereg di sisi lain bibir pantai.

            “Makasih, Um. Atas semuanya.”

      Umma terkekeh. “Makasih juga karena udah betah jadi sahabatku, Cin. Hehe...”

           Sebelum melanjutkan perjalanan menuju destinasi yang lain, malam ini kami memutuskan untuk beristirahat di sebuah penginapan kecil. Ditemani secangkir kopi Osing, kopi khas Banyuwangi dengan after taste tiada dua itu, kami menjadi saksi orkestra Alas Purwo di malam hari. Syahdu. Tak ada keinginan untuk mendua dengan notifikasi sosmed yang menumpuk. Berisiknya acara di televisi, deru mesin kendaraan dan klakson di lalu lintas kota, semua alfa. Malam ini hanya ada kami, uap kopi, gerisik dedaunan tropis, desah ombak, dan langit yang membentangkan pemandangan semesta. Baru satu hari di sini, kami sudah dapat menyimpulkan satu hal: betapa Indonesia itu kaya. Selanjutnya, jadwal kami adalah mengunjungi Sadengan, sebuah padang sabana di mana sekawanan banteng Jawa yang langka biasa bergerombol dan mencari makan. Setelah itu, merasakan sensasi berjalan kaki menyusuri rimba hutan menuju Gua Istana. Di akhir dari tour taman nasional ini, kami akan menikmati keindahan Pantai Plengkung atau G-Land dengan ombaknya yang legendaris—katanya paling menantang kedua setelah Hawaii. Ah, membayangkan petualangan kita esok saja sudah membuat hati berdebar sekaligus tak sabar. Karena setelah semua ini, siapapun pasti akan memanjatkan satu harap yang sama: semoga keindahan ini tetap lestari untuk dapat dinikmati oleh anak-cucu nanti.

       “Cin, aku mau ngasih tahu sesuatu. Tapi ini sangat rahasia!” Bisik Umma.

           “Apa?”

           “Ternyata... nama lengkap Mbak Zu adalah Siti Zulaeha.”

          “Hah?!” Aku mengernyit heran. Kurasa sahabatku ini benar-benar kelewat absurd.

         “Hahaha! Eh, satu rahasia lagi! Yang ini penting! Ehem... baru saja abi menelpon. Dapat proyek, katanya. Dan beliau, akhirnya... mengizinkanku untuk melanjutkan kuliah tahun ini.

            Kamar kami memang hanya diterangi oleh lampu temaram serta cahaya bulan yang lamat-lamat masuk dari jendela kayu. Namun saat ini, detik ini, untuk pertama kalinya aku melihat dengan jelas; mata Umma yang berkaca-kaca karena haru.


Yogyakarta, 27 Juni 2015 

Dolano wis! [1]  = Main, lah!
Saking ademe aku wis biasa adus sedino pisan![2] = Saking dinginnya aku sudah terbiasa mandi satu kali sehari!
Ora ngapusi [3]= tidak bohong


A/N: Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com. 


Special thanks to my friend, Ayu Humairoh. You were all I think when I wrote this. Hope I really can visit you and your beloved town soon, and together we'll have an awesome journey :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar