Sabtu, 21 Maret 2015

[Short Story] Friday Night beneath the Stars



            Pagi pertamaku di Havant High School dibuka oleh adegan tidak menyenangkan: seorang senior berambut coklat mirip Keira Knightly, menumpahkan semangkuk fruit loops-nya ke wajahku. Melihat adanya kepura-puraan dalam ekspresi terkejutnya, aku yakin bahwa dia memang melakukannya dengan sengaja.

            “Ups... I’m sorry!” Teriakannya lantang dan dibuat-buat, hingga mengundang perhatian semua murid yang sedang menikmati jam makan siang di kantin itu. Rambut, wajah, buku-buku yang kubawa, dan sebagian bajuku yang berlepotan susu dan potongan buah-buahan pun sukses menjadi bahan tertawaan. Klise. Sungguh klise di mana aku yang sejak duduk di bangku sekolah dasar dijuluki nerd, kutu buku, cupu, freak, dan panggilan semacamnya, masih mendapatkan perlakuan seperti sampah di SMA. Betapa sesungguhnya aku ingin menyeret gadis yang kini memandangku rendah itu dan menyelupkan wajah arogannya ke dalam bak cuci piring di sudut sana. Dari yang aku dengar, gadis di depanku ini bernama Candace. Amerika tulen, cantik, populer, dan berkuasa. Aku pun tahu jika rencana pembalasan dendam itu benar-benar kulakukan, perang dunia ketiga akan tersulut saat itu juga. Telunjuk-telunjuk masih tertuju ke arahku selagi tawa kian menggema. Aku enyah. Candace menyeringai puas.

            Usai membersihkan diri di kamar mandi—aku juga membawa pakaian cadangan karena tahu pasti akan di-bully—kemudian aku pun masuk ke kelas baruku dan disambut dengan tatapan aneh oleh seisi kelas. Aku memang terbiasa dipandang sebagai orang yang tak punya gaya, tapi saat ini mereka menatapku seolah aku alien dari bintang antah-berantah yang bermata juling dan memancarkan sinar serta lendir hijau dari sekujur tubuhku. Karena jujur, aku pun sebenarnya tidak mengerti. Kacamataku memang tebal, namun aku tidak buruk rupa dan culun serupa Betty La Vea dengan giginya yang dipenuhi kawat berdiameter dua senti. Dan meskipun rambut blonde-ku sering acak-acakan dan kukepang sekenanya, aku selalu rajin keramas dengan shampoo merk ternama dari Guatemala.

            “Maaf, apakah ada yang salah denganku?” Tanyaku pada seseorang yang duduk di bangku sebelahku. “Kenapa mereka menatapku seperti itu?”

            Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala tanda heran. Ia menatapku iba lalu mendesah, “Itu... ada yang usil menempeli tulisan di punggungmu,”

            Aku terkesiap. Langsung kuraba punggungku dan kutemukan kertas yang ditulisi dengan spidol tebal: BULLY AKU. Harga = 5 $.

***


            Murahan! Lelucon dengan tulisan itu benar-benar murahan. Pelakunya jelas tak lebih dari orang yang memiliki selera humor rendahan, ber-IQ jongkok, dan bermasa depan suram. Sepanjang perjalanan pulang aku mengumpat dalam hati, menahan rasa dongkol. Sepanjang hari, aku menahan keinginanku untuk enyah dari tempat mengerikan itu dan berlari pulang. Maka ketika bel berbunyi, tanpa ba-bi-bu aku melesat cepat menuju rumah. Sesampainya, aku serta-merta melempar tasku ke kamar melalui jendela dan berlari ke setapak di halaman belakang yang langsung mengarah ke New Forest. Di hutan itulah, sejak kecil aku sering menghabiskan waktuku untuk sekadar melepas penat maupun bermain-main. Dan kali ini aku telah siap mencurahkan segala keluh kesahku, pada seseorang yang sudah menungguku di hutan sana.

            “Hei!” Sapaku pada laki-laki yang sedang terduduk menekuri batang pohon tumbang. Ia menoleh. Melihat senyum ramah di wajahnya, seketika memicu diriku untuk ikut menarik kedua ujung bibirku. Seperti biasa, bertukar senyum seperti ini sudah menjadi semacam kode perijinan untuk saling terbuka satu sama lain. Kekesalanku dengan mudahnya menguap. Di sini hanya akan ada diriku, dan seorang sahabat bernama Ethan.

          “Sedang apa?” Aku mendekat dan melihatnya mengelupas beberapa bagian kulit pohon. Tak jauh dari sikunya, merayap seekor serangga besar berwarna hitam mengkilat dengan capit mengerikan di bagian kepalanya. Sesekali sayap serangga itu berderak-derak, namun tidak terlihat ingin terbang meninggalkan pohon.

            “Lucanus cervus. Ini adalah kumbang yang paling langka di Inggris. Kurasa aku sangat beruntung karena yang dewasa seperti ini hanya hidup selama satu minggu, sementara 6 tahun hidupnya dihabiskan hanya sebagai larva,”

         “Sekarang aku sedang membantunya membuat sarang. Di pohon-pohon yang hampir membusuk seperti inilah, betinanya akan menyimpan dan menetaskan telur-telurnya,”
            Aku terpukau. Pada kecantikan gerak-gerik serangga langka itu, juga pada Ethan yang selalu lebih tahu banyak hal. Jauh lebih banyak dibandingkan aku yang telah makan bangku sekolah lebih dari sembilan tahun. Itulah yang membuat dirinya sangat unik, mengetahui Ethan adalah seorang penderita dislexia. Sejak umur 9 tahun, ia keluar dari sekolah publik dan mendapatkan bimbingan khusus di rumahnya. Itupun masih bermasalah karena ia belum lepas dari kesulitannya membaca. Namun lebih dari itu, menurutku, Ethan adalah seorang pembelajar alam. Kekuatannya ada pada intuisi dan ekplorasi tanpa batas untuk menangkap pengetahuan di sekitarnya. Tak heran bila dia juga yang mengajariku cara membuat kerajinan dari limbah kertas dan kayu, membuat lilin,membuat permen jahe maupun donat madu. Bahkan saat ini ia sedang berusaha mengembangkan pembangkit listrik tenaga angin skala kecil miliknya sendiri.

            “Jadi, bagaimana hari pertama di Havant?” tanyanya setelah kami sampai di Palliate Shelter, sebuah nama yang kami berikan pada pondok kayu di atas cabang-cabang besar pohon breech. Sejak aku, Ethan, dan ayah membangunnya sepuluh tahun lalu, pondok ini serasa menjadi rumah kedua meskipun tak ada apapun di dalamnya. Palliate Shelter menawarkan tempat strategis untuk melihat New Forest secara utuh. Melihat bagaimana angin bergemerisik membelai dedaunan oak, ranting yew, pucuk-pucuk pinus, dan tupai kecil yang berlarian gelisah karena terganggu tidur siangnya. Dilihat dari ketinggian, pemandangan cahaya matahari sore yang menyelinap di sela pepohonan ini dijamin akan melembutkan hati siapapun.

            “Jujur, Havant adalah tempat mengerikan. Aku tidak yakin bisa bertahan di sana selama tiga tahun,” ujarku putus asa.

            “Kenapa? Ada pengganggu lagi?”

            “Arggh! Mereka lebih dari sekadar pengganggu, Ethan. Hampir setengah dari mereka berasal dari Amerika yang tidak mengenal attitude. Salah satunya Candace—okay, aku malas membahasnya,”

            Ethan tersenyum simpul.

       "Menurutmu, apakah aku seaneh itu? Apakah aku terlalu jelek di mata mereka?” tanyaku, menuntut kejujuran.

           “Mereka tidak mengganggumu karena alasan itu, Freya. Jadi, jangan pernah merasa seperti itu. You’re normal. You’re... beautiful.

            Untuk beberapa saat, aku tertegun. Meskipun sejak kecil aku bersahabat dengan Ethan, dan kalimat yang terlontar itu bisa saja hanya bertujuan untuk menghiburku, tetap saja ini adalah pertama kalinya aku dikatakan cantik oleh seorang laki-laki. Melihatku terdiam, sepertinya Ethan bisa membaca pikiranku yang diam-diam melambung tinggi.

        “Mungkin hanya karena ini...” kedua tangan Ethan terangkat dan melepas kacamataku. “Cobalah memakai lensa kontak, biar tidak terlihat seperti nerd. Tapi...”

            “Tapi?”

            “Kalau nyatanya kau masih di-bully juga, itu artinya...”

           “Artinya?” tanyaku tidak sabar.

            “Artinya kau memang dilahirkan bully-able.”

            “HYA!!!” Aku yang tersinggung, hendak mendorong bahunya. Namun ia berkelit dan berlari tergopoh-gopoh menuruni tangga. Aku mengejarnya. Ia terpeleset. Jatuh menggelinding dengan konyol dari lima undakan terakhir. Ia meringis kesakitan dan tawaku tak tertahankan. Saat aku dan Ethan kembali ke halaman belakang rumah, matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Hanya tersisa galur-galur cahaya jingga terakhir di balik bukit. Bintang-bintang bermunculan menyambut malam.

    “Sampai jumpa besok,” aku bergegas masuk lewat pintu belakang namun tangan Ethan menahanku.

           “T-tunggu. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu, Freya.” Untuk pertama kalinya aku melihat Ethan begitu serius.“Sebenarnya aku ingin mengatakan ini berhari-hari yang lalu, tapi aku takut kau marah dan membenciku,”

            Kurasai jantungku berdegup. “Ada apa, Ethan?”

          “Besok... aku akan pergi ke Amerika. Ada sekolah bagus yang menerima penderita dislexia. Jadi... kita akan berpisah untuk tiga tahun. Maafkan aku,”

           Satu hal yang sudah kuyakini sejak dulu, bahwa Ethan adalah seseorang yang tidak terduga. “Apa maksudmu aku akan marah? I’m happy for you,” kurengkuhkan tanganku ke pundaknya. Memeluknya. Saat itulah baru terasa bahwa ada pahit di dadaku. Tak ada Ethan berarti tak ada lagi kebersamaan di Palliate Shelter. Pun aku tak bisa berkeluh kesah tentang nasib burukku di sekolah, tentang Candace yang jika memiliki wajah sesuai dengan sifatnya, pasti akan berwajah seperti Shrek. Karena aku takkan pernah bisa menyembunyikan apapun dari Ethan. Apapun. Termasuk tangisku di bahunya saat ini.

***


            Sejak kepergian Ethan ke Amerika, aku baru menyadari satu fakta: bahwa aku hanya bisa menjadi diriku sendiri ketika bersamanya. Maka tak terbayangkan lagi betapa lelahnya kehidupan SMA-ku tanpa teman berbagi seperti dirinya. Anehnya, terpisah jarak bukannya membuat ingatanku tentangnya perlahan memudar, melainkan membuatnya semakin kekal. Rindu yang terlampau pekat, memaksa logikaku mulai menafsirkan sesuatu yang lain. Apalagi sore ini, ketika aku melihatnya di bandara. Setelah tiga tahun tinggal di Amerika, aku sempat khawatir kalau-kalau ia terpengaruh gaya hidup orang sana. Tapi Ethan adalah Ethan. Ia masih laki-laki Inggris berpembawaan sederhana dan baik hati. Yang berbeda hanyalah tubuhnya yang tampak lebih kurus, potongan rambut pendek, mantel coklat, dan jantungku yang berdetak lebih cepat.

            Aku dan Ethan sama-sama kuliah di Winchester University setahun kemudian. Di sana kami meniti karir bersama dan tetap saling mendukung meskipun berada di jurusan yang berbeda. Kami pun semakin tak terpisahkan. Semua mengalir begitu saja hingga tibalah suatu hari, ketika Ethan mengungkapkan perasaan terpendamnya. Sama denganku, ternyata Ethan jatuh hati padaku sejak tiga tahun lalu, di bawah bintang malam yang masih muda, sepulang dari Palliate Shelter.






Cerpen diikutsertakan dalam #MyLoveStoryQuiz. Inspired by Taylor Swift’s “I’m Only Me When I’m With You” . Happy Swift Day 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar