Sudah tak terhitung berapa kali, Sri
merasa jengah dan ingin kabur dari rumah. Kalau saja itu bukan permintaan
terakhir almarhum bapaknya, ia takkan pernah mau tinggal bersama kakak sulung
yang memperlakukannya bak pembantu rendahan. Berteman dengan pagi buta, ia
harus memulai harinya dengan setumpuk pekerjaan mulai dari memasak sampai
cuci-mencuci. Setelah semuanya selesai, barulah ia bisa berangkat sekolah yang
letaknya di seberang desa dengan mengendarai sepeda bututnya sejauh delapan
kilometer. Sepulang sekolah pun, pekerjaan selanjutnya sudah menunggu. Hidup Sri,
adalah tentang bekerja, bekerja, dan bekerja.
“Kok
kepenaken uripmu, Sri?! Lek kowe pengen numpang neng kene yo kudu gelem nyambut
gawe!” [1] demikian kakaknya selalu memaki dirinya. Entah
kenapa, kakaknya tak pernah setuju jika sang bapak menitipkan Sri padanya.