Sudah tak terhitung berapa kali, Sri
merasa jengah dan ingin kabur dari rumah. Kalau saja itu bukan permintaan
terakhir almarhum bapaknya, ia takkan pernah mau tinggal bersama kakak sulung
yang memperlakukannya bak pembantu rendahan. Berteman dengan pagi buta, ia
harus memulai harinya dengan setumpuk pekerjaan mulai dari memasak sampai
cuci-mencuci. Setelah semuanya selesai, barulah ia bisa berangkat sekolah yang
letaknya di seberang desa dengan mengendarai sepeda bututnya sejauh delapan
kilometer. Sepulang sekolah pun, pekerjaan selanjutnya sudah menunggu. Hidup Sri,
adalah tentang bekerja, bekerja, dan bekerja.
“Kok
kepenaken uripmu, Sri?! Lek kowe pengen numpang neng kene yo kudu gelem nyambut
gawe!” [1] demikian kakaknya selalu memaki dirinya. Entah
kenapa, kakaknya tak pernah setuju jika sang bapak menitipkan Sri padanya.
Gadis itu pun hanya bisa pasrah. Tak menemukan
pilihan lain karena bagaimanapun juga, hanya kakak sulungnya-lah yang bisa
membiayai pendidikannya di madrasah tsanawiyah. Suaminya adalah pejabat desa
dengan rumah yang terlampau besar untuk menaungi keempat anggota
keluarga—termasuk keponakan Sri yang masih kecil, yang membuat pekerjaannya
semakin berat karena anak itu selalu berbuat ulah. Sungguh, itu merupakan beban
yang cukup berat untuk seorang gadis yang baru menginjak usia lima belas tahun.
Namun seiring berjalannya waktu, ia sadar bahwa ada hal lain yang membuatnya tidak
betah untuk tinggal di sana. Sri bisa saja membiasakan diri untuk melakukan
semua pekerjaan tanpa diberi upah, juga menahan panas di telinga karena cemooh
kakaknya. Tapi ia belum bisa membiasakan diri dengan kejanggalan yang ada di sekeliling rumah itu sendiri.
Selama setahun tinggal, Sri sudah
melihat banyak penampakan. Salah satu diantaranya, ketika ia pergi ke halaman
belakang untuk mengambil air di sumur. Saat itu ba’da maghrib. Langit belum
sepenuhnya gelap. Sri bersusah payah menarik ember berisi penuh air, ketika
pandangannya tiba-tiba jatuh ke kebun salak di pekarangan. Ia bukanlah penakut
yang suka membayangkan hal-hal aneh. Tapi saat itu Sri benar-benar yakin, bahwa
ada sesuatu yang sedang mengawasinya. Dan benar saja. Kali kedua, Sri melihat
sebatang rokok di bawah salah satu pohon salak. Sesekali nyala api di ujung
rokok itu memerah, lalu membumbunglah asap berwarna putih. Setelah diperhatikan,
ia menyadari ada sosok hitam yang terduduk sambil menghisap-hisap rokok itu. Sri
menahan gemetar di tempatnya.
“Ora
opo-opo...” gumamnya kemudian, mencoba menenangkan diri. “Itu Mbah Sam.”
Sri adalah gadis yang ramah pada
semua orang, termasuk Mbah Sam, tetangga sebelah yang memiliki keterbelakangan
mental. Gadis itu bersimpati karena kakek yang berusia hampir seabad itu
tinggal sendiri di gubug reot dan tak pernah diurus oleh anak-anaknya. Sekali
anak laki-lakinya pulang dari perantauan, maka ia hanya datang untuk memastikan
bahwa Mbah Sam masih terpasung. Untuk makan dan rokok, kakek renta itu hanya
mengandalkan belas kasihan warga sekitar. Sri salah satunya, yang tak pernah
absen berbagi makanan sepulang dari sekolah. Dan tiga hari sebelum kejadian di pohon
salak malam itu, Mbah Sam sudah meninggal.
Tak hanya itu, Sri juga sering
mendengar deru kereta dari belakang rumah saat tengah malam. Padahal, tak ada rel
atau apapun di sana kecuali kebun-kebun dan hamparan lahan tebu. Belakangan muncul
desas-desus dari tetangga, bahwa itu adalah kereta gaib dari jaman penjajahan
Belanda. Pernah pula ketika Sri sangat lelah usai bekerja seharian dan akhirnya
jatuh sakit, ia bertemu seorang wanita tua. Sri yang saat itu terkapar di tempat
tidur kayunya sambil menggigil dalam selimut, sedang berada dalam kondisi
antara sadar dan tidak. Tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang duduk di
sampingnya, menatapnya, memijit kakinya dengan lembut. Wanita itu mengenakan kain
batik berwarna coklat tua dan rambut kelabunya digelung. Saat itu, meskipun ia
sedang flu, Sri bisa mencium wangi semerbak. Sayup-sayup, wanita itu juga
mendendangkan lagu.
Lir-ilir,
Lir-ilir... tandure wis sumilir
Tak
ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar
Cah
angon, cah angon... penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu
penekno kanggo mbasuh dodo tiro...
Anehnya, saat itu Sri tidak merasakan takut. Mungkin
karena wanita yang hanya datang sekali itu entah bagaimana, telah
mengingatkannya akan figur emaknya yang bahkan belum pernah ia temui; emak yang
meninggal setelah melahirkannya lima belas tahun yang lalu. Dalam ringkuknya,
Sri pun menangis sebelum akhirnya jatuh terlelap.
Tapi tetap saja, semua penampakan itu bagi Sri bukan
apa-apa jika dibandingkan sosok yang akhir-akhir ini sering terlihat di
ventilasi kamarnya. Sosok yang benar-benar membuatnya takut, sekaligus menjadi
alasan paling utama bagi gadis itu untuk enyah dari sana. Dan malam ini, Sri
sedang gelisah di kamarnya. Ia melihat ke arah jam dinding. Masih jam delapan. Keadaan
sangat sepi karena kebetulan, keluarga kakaknya sedang pergi ke luar kota untuk
menghadiri hajatan sejak pagi, menyisakan Sri yang diperintahkan untuk menjaga
rumah. Kini ia menghadap meja belajar, sedang mencoba untuk berkonsentrasi
penuh pada buku-buku IPA-nya. Sayangnya ia gagal karena kehadiran hawa aneh
yang membuat bulu halus di belakang lehernya tiba-tiba meremang.
Sedikit kesal, Sri pun berdiri dan memutuskan pergi
ke dapur. Segelas air mungkin bisa membuatnya lebih rileks, pikirnya. Ia lantas
melewati ruang tamu, melintasi kamar-kamar dan lorong pendek hingga sampailah
ia di dapur. Untuk pertama kalinya, Sri mendadak berharap kakaknya dan semua
keluarganya ada di sini. Berteriak, membentak, memerintah. Apapun, asal bukan
sunyi yang mencekam seperti ini.
Begitu Sri kembali ke kamarnya dengan segelas air, makhluk
itu ternyata sudah ada di sana. Mengintip dari ventilasi yang menghubungkan
ruangan dengan teras depan.
Makhluk itu adalah seorang wanita, berbaju putih
dengan surai panjang yang menutupi hampir sebagian wajahnya. Bola matanya
tampak menerawang dan mulutnya membentuk seringai. Tinggi makhluk itu mencapai
sekitar dua setengah meter sehingga selalu membungkuk seperti wanita tua.
Tiba-tiba, Sri mendengar ketuk dari pintu depan. Ia
pun berjingkat dengan bungah karena akhirnya, mereka sudah pulang. Tapi
bukannya mendapati kakaknya, ia justru berhadapan dengan wajah kuntilanak itu
dengan jarak tak lebih dari 10 senti. Dengan tubuh sedemikian tinggi, makhluk
itu membungkukkan badannya 90 derajat untuk menyamai tinggi badan Sri. Hingga
ia cukup tahu, bahwa makhluk astral itu ternyata gemar mencari perhatian. Ia
senang mengetahui Sri bisa melihatnya dan tampak ketakutan.
Sementara Sri sendiri, tak mau terus-terusan
membuat makhluk itu merasa senang. Sambil menahan gemetar hingga jantungnya
seolah-olah hendak melompat dari rusuk, Sri mengembuskan napas cepat. Ia lantas
mengedarkan pandangan ke penjuru teras dan halaman. Sebisa mungkin, ia tampak
tenang dan berpura-pura tak melihat apapun di depan wajahnya. Sri, sedang
mencoba mengabaikan makhluk itu.
“Oh... tak
kiro mbakku wis teko,”[2] Sri kemudian berbalik dan menutup
pintu sekeras-kerasnya.
Setelah itu, ia kembali ke kamarnya dan seketika menutup
tubuhnya dengan selimut. Sri berdoa, merapalkan ayat Kursi. Dalam pikirannya,
ia tak berhenti berkata, “Pokoke aku
sesuk arep minggat teko kene! Kudu!”[3]
Yogyakarta,
4 Maret 2016
22:30
PM
[1]
“Kok enak sekali hidupmu, Sri?! Kalau mau numpang di sini, ya harus mau
bekerja!”
[2]
“Oh... aku kira kakakku sudah datang”
[3]
“Pokoknya aku besok harus pergi dari sini! Harus!”
A/N: Cerpen
ini diikutsertakan dalam proyek #NulisBarengAlumni dengan tema #Horror oleh
@KampusFiksi dan @ginteguh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar