Jo hanyalah gadis biasa, bukan siapa-siapa dari seorang bintang sekelas Adrian Schiele. Namun
semua rekannya harus mengakui bahwa pada kenyataannya, Jo selalu menang lebih
banyak dibandingkan kekasih pria itu sendiri. Cathrine, namanya, yang juga disibukkan
dengan karirnya yang sedang melejit. Temu rindu, Adrian dan Cathrine hanya bisa
saling berinteraksi di depan publik dengan curi-curi pandang yang sarat kode karena
khawatir hubungan mereka tercium paparazzi
dan menyebabkan huru-hara di tengah fans serta netizen.
Sedangkan Jo?
Jo bisa menemui Adrian hampir setiap
hari. Mereka bisa mengobrol panjang lebar tentang tren fashion-style terbaru sampai topik remeh tentang motif dasi mana
yang lebih cocok untuk dikenakan pria itu saat awarding night. Kadang meskipun jadwalnya sangat padat dan
membuatnya bekerja sampai malam, Adrian akan menyempatkan diri membeli caramel macchiato kesukaan Jo.
Dan Jo, juga akan selalu menikmati momen
itu. Momen di mana Adrian menemuinya dengan langkah tergesa tiap pagi buta tanpa
sedikitpun polesan di wajahnya. Betapa gadis itu merasa istimewa, bisa melihat
sisi Adrian yang tak pernah ditunjukkannya di depan kamera—sisi Adrian yang
sesungguhnya. Saat itu Jo akan dengan senang hati menyapukan telapak tangannya
di permukaan kulit susu itu. Lembut. Saraf di ujung-ujung jarinya bekerja aktif
menyalurkan impuls asing ke sekujur tubuhnya.
“Selamat pagi, Adrian,” sapa Jo selagi
telapaknya terus menyusuri relief dahi, pipi, hidung, hingga berhenti di bibir
pria itu.
Jantung Jo serasa berontak dari tulang
rusuknya.
Pria itu biasa membalas dengan senyuman khas
yang menurut Jo, cukup hangat untuk membuat belahan bumi utara mengalami musim
semi sepanjang tahun. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Jo tergila-gila pada
Adrian. Namun gadis itu menyimpan rasa itu sendiri. Selalu demikian. Tak pernah
ia menjadikannya sebagai masalah, selama pria yang ia kagumi itu tak pernah
enyah dari mimpi dan nyatanya. Sampai akhirnya tiba suatu hari—Adrian dan
Cathrine dipertemukan di sebuah photoshoot
dalam rangka charity event—untuk
pertama kalinya, Jo merasakan sesuatu bernama cemburu.
Akan
ada satu set sesi pemotretan di mana Adrian merangkul bahu Cathrine sementara tangan
mereka saling bertautan membentuk pinky
promise. Dalam genggaman mereka, sebentuk kalung emas dengan bandul hati
hasil designer kenamaan Paris, terjuntai
anggun. Manis, intens, dan kepalang menyakitkan bagi Jo.
***
“..aku
mencintainya.”
“Seriously, Jo? Adrian tak pernah peduli
padamu!” demikian rekan Jo mengingatkan gadis itu. Alih-alih terdengar kasar,
bentakan itu justru sarat akan kekhawatiran.
“Adrian
selalu tahu bahwa kopi favoritku adalah caramel macchiato!”
Jo bersikeras.
“Maafkan
aku, Jo. Tapi... Adrian memang membelikan caramel macchiato untuk semua crew.”
Hening.
“Come on Jo, wake up. Mau sampai kapan kau akan bersikap seperti ini? Berhenti
menyiksa dirimu sendiri. Dia bukan jodohmu! Ikhlaskan, Jo—”
Tawa singkat yang terdengar seperti
dengusan seketika lolos dari mulut gadis itu. Sungguh, tak ada kata ikhlas di dalam kamus Jo untuk Cathrine
yang akan berkesempatan mengumbar mesra dengan Adrian.
“Ikhlas,
katamu?!” Kini raut wajah Jo berubah. Ada amarah yang tak dapat disembunyikan
lagi ketika gadis itu menyambar kotak make-up
artist miliknya, sebelum meninggalkan ruangan.
“Screw
it. Lihat saja besok, akan kubuat muka Cathrine seperti nenek lampir!”
END.
A/N: Cerita ini diikutsertakan dalam #NulisBarengAlumni
@KampusFiksi dengan tema IKHLAS, sebagai #JamaahTyphobia.
Credit pic:
tumblr.com
~~~~✿ ✿~~~~~
What did I just
write I have absolutely no idea xd Well at least it contains my secret dream
job. I mean, make-up artist maan.. kerjaan macam apa lagi yang ngijinin buat
ngelus-ngelus wajahe Suho? #astaghfirullah #gaboleh #butuhrukyah Okay it’s just a dream job in literal meaning
bcs how it become possible when I can’t even put a single make-up on my own
face D:
wew... kepedean Jo. HEHE.
BalasHapusikhlas, Jo, ikhlas... :D
BalasHapus