Sabtu, 05 Maret 2016

[Short Story] Minggat



            Sudah tak terhitung berapa kali, Sri merasa jengah dan ingin kabur dari rumah. Kalau saja itu bukan permintaan terakhir almarhum bapaknya, ia takkan pernah mau tinggal bersama kakak sulung yang memperlakukannya bak pembantu rendahan. Berteman dengan pagi buta, ia harus memulai harinya dengan setumpuk pekerjaan mulai dari memasak sampai cuci-mencuci. Setelah semuanya selesai, barulah ia bisa berangkat sekolah yang letaknya di seberang desa dengan mengendarai sepeda bututnya sejauh delapan kilometer. Sepulang sekolah pun, pekerjaan selanjutnya sudah menunggu. Hidup Sri, adalah tentang bekerja, bekerja, dan bekerja.

            “Kok kepenaken uripmu, Sri?! Lek kowe pengen numpang neng kene yo kudu gelem nyambut gawe!” [1] demikian kakaknya selalu memaki dirinya. Entah kenapa, kakaknya tak pernah setuju jika sang bapak menitipkan Sri padanya.


Gadis itu pun hanya bisa pasrah. Tak menemukan pilihan lain karena bagaimanapun juga, hanya kakak sulungnya-lah yang bisa membiayai pendidikannya di madrasah tsanawiyah. Suaminya adalah pejabat desa dengan rumah yang terlampau besar untuk menaungi keempat anggota keluarga—termasuk keponakan Sri yang masih kecil, yang membuat pekerjaannya semakin berat karena anak itu selalu berbuat ulah. Sungguh, itu merupakan beban yang cukup berat untuk seorang gadis yang baru menginjak usia lima belas tahun. Namun seiring berjalannya waktu, ia sadar bahwa ada hal lain yang membuatnya tidak betah untuk tinggal di sana. Sri bisa saja membiasakan diri untuk melakukan semua pekerjaan tanpa diberi upah, juga menahan panas di telinga karena cemooh kakaknya. Tapi ia belum bisa membiasakan diri dengan kejanggalan yang ada di sekeliling rumah itu sendiri.

            Selama setahun tinggal, Sri sudah melihat banyak penampakan. Salah satu diantaranya, ketika ia pergi ke halaman belakang untuk mengambil air di sumur. Saat itu ba’da maghrib. Langit belum sepenuhnya gelap. Sri bersusah payah menarik ember berisi penuh air, ketika pandangannya tiba-tiba jatuh ke kebun salak di pekarangan. Ia bukanlah penakut yang suka membayangkan hal-hal aneh. Tapi saat itu Sri benar-benar yakin, bahwa ada sesuatu yang sedang mengawasinya. Dan benar saja. Kali kedua, Sri melihat sebatang rokok di bawah salah satu pohon salak. Sesekali nyala api di ujung rokok itu memerah, lalu membumbunglah asap berwarna putih. Setelah diperhatikan, ia menyadari ada sosok hitam yang terduduk sambil menghisap-hisap rokok itu. Sri menahan gemetar di tempatnya.

            “Ora opo-opo...” gumamnya kemudian, mencoba menenangkan diri. “Itu Mbah Sam.

            Sri adalah gadis yang ramah pada semua orang, termasuk Mbah Sam, tetangga sebelah yang memiliki keterbelakangan mental. Gadis itu bersimpati karena kakek yang berusia hampir seabad itu tinggal sendiri di gubug reot dan tak pernah diurus oleh anak-anaknya. Sekali anak laki-lakinya pulang dari perantauan, maka ia hanya datang untuk memastikan bahwa Mbah Sam masih terpasung. Untuk makan dan rokok, kakek renta itu hanya mengandalkan belas kasihan warga sekitar. Sri salah satunya, yang tak pernah absen berbagi makanan sepulang dari sekolah. Dan tiga hari sebelum kejadian di pohon salak malam itu, Mbah Sam sudah meninggal.

            Tak hanya itu, Sri juga sering mendengar deru kereta dari belakang rumah saat tengah malam. Padahal, tak ada rel atau apapun di sana kecuali kebun-kebun dan hamparan lahan tebu. Belakangan muncul desas-desus dari tetangga, bahwa itu adalah kereta gaib dari jaman penjajahan Belanda. Pernah pula ketika Sri sangat lelah usai bekerja seharian dan akhirnya jatuh sakit, ia bertemu seorang wanita tua. Sri yang saat itu terkapar di tempat tidur kayunya sambil menggigil dalam selimut, sedang berada dalam kondisi antara sadar dan tidak. Tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang duduk di sampingnya, menatapnya, memijit kakinya dengan lembut. Wanita itu mengenakan kain batik berwarna coklat tua dan rambut kelabunya digelung. Saat itu, meskipun ia sedang flu, Sri bisa mencium wangi semerbak. Sayup-sayup, wanita itu juga mendendangkan lagu.

            Lir-ilir, Lir-ilir... tandure wis sumilir
            Tak ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar
            Cah angon, cah angon... penekno blimbing kuwi
            Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodo tiro...

Anehnya, saat itu Sri tidak merasakan takut. Mungkin karena wanita yang hanya datang sekali itu entah bagaimana, telah mengingatkannya akan figur emaknya yang bahkan belum pernah ia temui; emak yang meninggal setelah melahirkannya lima belas tahun yang lalu. Dalam ringkuknya, Sri pun menangis sebelum akhirnya jatuh terlelap.

Tapi tetap saja, semua penampakan itu bagi Sri bukan apa-apa jika dibandingkan sosok yang akhir-akhir ini sering terlihat di ventilasi kamarnya. Sosok yang benar-benar membuatnya takut, sekaligus menjadi alasan paling utama bagi gadis itu untuk enyah dari sana. Dan malam ini, Sri sedang gelisah di kamarnya. Ia melihat ke arah jam dinding. Masih jam delapan. Keadaan sangat sepi karena kebetulan, keluarga kakaknya sedang pergi ke luar kota untuk menghadiri hajatan sejak pagi, menyisakan Sri yang diperintahkan untuk menjaga rumah. Kini ia menghadap meja belajar, sedang mencoba untuk berkonsentrasi penuh pada buku-buku IPA-nya. Sayangnya ia gagal karena kehadiran hawa aneh yang membuat bulu halus di belakang lehernya tiba-tiba meremang.

Sedikit kesal, Sri pun berdiri dan memutuskan pergi ke dapur. Segelas air mungkin bisa membuatnya lebih rileks, pikirnya. Ia lantas melewati ruang tamu, melintasi kamar-kamar dan lorong pendek hingga sampailah ia di dapur. Untuk pertama kalinya, Sri mendadak berharap kakaknya dan semua keluarganya ada di sini. Berteriak, membentak, memerintah. Apapun, asal bukan sunyi yang mencekam seperti ini.

Begitu Sri kembali ke kamarnya dengan segelas air, makhluk itu ternyata sudah ada di sana. Mengintip dari ventilasi yang menghubungkan ruangan dengan teras depan.

Makhluk itu adalah seorang wanita, berbaju putih dengan surai panjang yang menutupi hampir sebagian wajahnya. Bola matanya tampak menerawang dan mulutnya membentuk seringai. Tinggi makhluk itu mencapai sekitar dua setengah meter sehingga selalu membungkuk seperti wanita tua.

Tiba-tiba, Sri mendengar ketuk dari pintu depan. Ia pun berjingkat dengan bungah karena akhirnya, mereka sudah pulang. Tapi bukannya mendapati kakaknya, ia justru berhadapan dengan wajah kuntilanak itu dengan jarak tak lebih dari 10 senti. Dengan tubuh sedemikian tinggi, makhluk itu membungkukkan badannya 90 derajat untuk menyamai tinggi badan Sri. Hingga ia cukup tahu, bahwa makhluk astral itu ternyata gemar mencari perhatian. Ia senang mengetahui Sri bisa melihatnya dan tampak ketakutan.

Sementara Sri sendiri, tak mau terus-terusan membuat makhluk itu merasa senang. Sambil menahan gemetar hingga jantungnya seolah-olah hendak melompat dari rusuk, Sri mengembuskan napas cepat. Ia lantas mengedarkan pandangan ke penjuru teras dan halaman. Sebisa mungkin, ia tampak tenang dan berpura-pura tak melihat apapun di depan wajahnya. Sri, sedang mencoba mengabaikan makhluk itu.

Oh... tak kiro mbakku wis teko,[2] Sri kemudian berbalik dan menutup pintu sekeras-kerasnya.

Setelah itu, ia kembali ke kamarnya dan seketika menutup tubuhnya dengan selimut. Sri berdoa, merapalkan ayat Kursi. Dalam pikirannya, ia tak berhenti berkata, “Pokoke aku sesuk arep minggat teko kene! Kudu!”[3]
           


Yogyakarta, 4 Maret 2016

22:30 PM


[1] “Kok enak sekali hidupmu, Sri?! Kalau mau numpang di sini, ya harus mau bekerja!”
[2] “Oh... aku kira kakakku sudah datang”
[3] “Pokoknya aku besok harus pergi dari sini! Harus!”


A/N: Cerpen ini diikutsertakan dalam proyek #NulisBarengAlumni dengan tema #Horror oleh @KampusFiksi dan @ginteguh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar