Minggu, 07 Februari 2016

[Short Story] Ikhlas?




         Jo hanyalah gadis biasa, bukan siapa-siapa dari seorang bintang sekelas Adrian Schiele. Namun semua rekannya harus mengakui bahwa pada kenyataannya, Jo selalu menang lebih banyak dibandingkan kekasih pria itu sendiri. Cathrine, namanya, yang juga disibukkan dengan karirnya yang sedang melejit. Temu rindu, Adrian dan Cathrine hanya bisa saling berinteraksi di depan publik dengan curi-curi pandang yang sarat kode karena khawatir hubungan mereka tercium paparazzi dan menyebabkan huru-hara di tengah fans serta netizen.

Sedangkan Jo?

Jo bisa menemui Adrian hampir setiap hari. Mereka bisa mengobrol panjang lebar tentang tren fashion-style terbaru sampai topik remeh tentang motif dasi mana yang lebih cocok untuk dikenakan pria itu saat awarding night. Kadang meskipun jadwalnya sangat padat dan membuatnya bekerja sampai malam, Adrian akan menyempatkan diri membeli caramel macchiato kesukaan Jo.


Dan Jo, juga akan selalu menikmati momen itu. Momen di mana Adrian menemuinya dengan langkah tergesa tiap pagi buta tanpa sedikitpun polesan di wajahnya. Betapa gadis itu merasa istimewa, bisa melihat sisi Adrian yang tak pernah ditunjukkannya di depan kamera—sisi Adrian yang sesungguhnya. Saat itu Jo akan dengan senang hati menyapukan telapak tangannya di permukaan kulit susu itu. Lembut. Saraf di ujung-ujung jarinya bekerja aktif menyalurkan impuls asing ke sekujur tubuhnya.

“Selamat pagi, Adrian,” sapa Jo selagi telapaknya terus menyusuri relief dahi, pipi, hidung, hingga berhenti di bibir pria itu.

Jantung Jo serasa berontak dari tulang rusuknya.

Pria itu biasa membalas dengan senyuman khas yang menurut Jo, cukup hangat untuk membuat belahan bumi utara mengalami musim semi sepanjang tahun. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Jo tergila-gila pada Adrian. Namun gadis itu menyimpan rasa itu sendiri. Selalu demikian. Tak pernah ia menjadikannya sebagai masalah, selama pria yang ia kagumi itu tak pernah enyah dari mimpi dan nyatanya. Sampai akhirnya tiba suatu hari—Adrian dan Cathrine dipertemukan di sebuah photoshoot dalam rangka charity event—untuk pertama kalinya, Jo merasakan sesuatu bernama cemburu.

            Akan ada satu set sesi pemotretan di mana Adrian merangkul bahu Cathrine sementara tangan mereka saling bertautan membentuk pinky promise. Dalam genggaman mereka, sebentuk kalung emas dengan bandul hati hasil designer kenamaan Paris, terjuntai anggun. Manis, intens, dan kepalang menyakitkan bagi Jo.

***

            “..aku mencintainya.”

           “Seriously, Jo? Adrian tak pernah peduli padamu!” demikian rekan Jo mengingatkan gadis itu. Alih-alih terdengar kasar, bentakan itu justru sarat akan kekhawatiran.

            “Adrian selalu tahu bahwa kopi favoritku adalah caramel macchiato!” Jo bersikeras.

          “Maafkan aku, Jo. Tapi... Adrian memang membelikan caramel macchiato untuk semua crew.”

            Hening.

            “Come on Jo, wake up. Mau sampai kapan kau akan bersikap seperti ini? Berhenti menyiksa dirimu sendiri. Dia bukan jodohmu! Ikhlaskan, Jo—”

Tawa singkat yang terdengar seperti dengusan seketika lolos dari mulut gadis itu. Sungguh, tak ada kata ikhlas di dalam kamus Jo untuk Cathrine yang akan berkesempatan mengumbar mesra dengan Adrian.

Ikhlas, katamu?!” Kini raut wajah Jo berubah. Ada amarah yang tak dapat disembunyikan lagi ketika gadis itu menyambar kotak make-up artist miliknya, sebelum meninggalkan ruangan.

Screw it. Lihat saja besok, akan kubuat muka Cathrine seperti nenek lampir!”






END.


A/N: Cerita ini diikutsertakan dalam #NulisBarengAlumni @KampusFiksi dengan tema IKHLAS, sebagai #JamaahTyphobia.

Credit pic: tumblr.com




~~~~✿ ✿~~~~~


What did I just write I have absolutely no idea xd Well at least it contains my secret dream job. I mean, make-up artist maan.. kerjaan macam apa lagi yang ngijinin buat ngelus-ngelus wajahe Suho? #astaghfirullah #gaboleh #butuhrukyah  Okay it’s just a dream job in literal meaning bcs how it become possible when I can’t even put a single make-up on my own face D:


2 komentar: