Selasa, 25 Agustus 2015

[Short Story] Morbid Confession








             “Kau tahu bahwa aku bukan seutuhnya manusia, Sean.”

            Ketika kalimat itu terlontar, normalnya lelaki itu akan disuguhi sepaket kerlingan mata dan ekspresi jenaka yang tak pernah gagal membuat senyumnya turut terkembang. Namun kini, gadis itu sedang bersandar di dadanya sehingga hanya puncak kepala dan surai coklat gelap beraroma buah plum yang dapat ditangkap inderanya. Meski demikian, Sean sudah hafal. Sebentar lagi Lexa pasti akan memproklamirkan dirinya entah sebagai elf yang mewarisi darah unicorn atau makhluk fantasi lainnya—persis seperti kisah-kisah fiksi yang bahkan tak pernah bisa dijangkau oleh pemikiran logis Sean. Dan nyatanya, tanpa melihat wajah gadis itu sekalipun, Sean mampu mengangkat satu ujung bibirnya; mengetahui Lexa sesekali terangguk karena menahan kantuk berat. Bagi Sean, Lexa-nya tetap terlihat lucu dalam keadaan apapun.

            “Aku kehilangan sayapku. Itu yang membuatku terjebak di bumi dan tak bisa kembali lagi ke langit ketujuh,” lanjut Lexa, tak peduli dengan suaranya yang kian lemah. Sembari memejamkan kedua matanya perlahan, buku berjudul Evermeet: Island of the Elves di pangkuannya pun ditutupnya pula. “Tapi aku tak pernah merasa takut lagi, knowing that I’ve found another form of wings. Sean... berjanjilah untuk menjadi sayap yang menjagaku selamanya.”



            Kalimat terakhir itu sejenak berdengung di kepala Sean. Lalu membentuk serupa kail yang menyeret paksa memori dari peristiwa dua minggu yang lalu. Saat itu, Sean sedang diliputi kekalutan luar biasa karena ia tak dapat menemukan Lexa. Tidak biasanya, gadis itu belum kembali dari kampusnya hingga petang menjelang. Setelah mencarinya di perpustakaan, kantin, sampai lorong-lorong kelas dan hasilnya tetap nihil, laki-laki itu lantas bergegas menuju ke sebuah kafe langganan Lexa yang terletak di Yorkshire, tak begitu jauh dari sana. Berharap di tempat itu ia mendapati gadis itu sedang menikmati frappe favoritnya, menunjukkan senyum manis sekaligus jahil yang meluruhkan kekhawatiran dalam hati Sean.

            Lelaki itu masih ingat benar ketika dengan gelisah, ia menyusuri sepanjang Humber Bridge yang lengang. Sore itu, entah mengapa langit Inggris begitu muram. Dan ketika Sean menyapukan sekilas pandangannya pada sisi kiri jembatan, sesuatu tertangkap matanya dan sekonyong-konyong ia pun menginjak rem SUV-nya kuat-kuat. Darahnya mendadak berdesir. Bisa ia rasakan jantungnya yang seolah berontak untuk keluar dari kungkungan rusuknya.

            Seorang gadis yang tampak berdiri menantang angin di sisi luar pembatas jembatan tak lain adalah Lexa-nya. Ya, karena Sean tidak pernah salah mengenali punggung itu. Punggung yang di detik keberapapun bisa lenyap dari penglihatannya. Beberapa meter dari sana, tampak beberapa pasang mata penuh kengerian. Saat itu, tak ada yang berani mencegah perbuatan nekat yang hendak dilakukan gadis itu.

“LEXA!!!” Suara Sean menggelegar di tengah bekunya udara.

Tak ada yang terlontar dari mulut laki-laki itu lagi kecuali deru napas cepat sekaligus uap putih yang disebabkan oleh hawa dingin. Kedua kakinya lantas melesat cepat dan tak sampai lima detik kemudian, bahu gadis itu sudah terkunci dalam rengkuhannya. Saat itu, Sean bingung harus mengumpat ataukah bersyukur telah menemukan—sekaligus menyelamatkan—Lexa-nya. Begitu pula gadis itu, yang kemudian dilema antara ingin jatuh bebas dari ketinggian, ataukah jatuh cinta saja pada sosok Sean.



            Tentu. Tak perlu ditanyakan lagi, Sean akan melakukan apapun demi menjaga harta paling berharga yang kini terlelap di pelukannya itu. Kini ia bahkan menahan napasnya saat mengangkat tubuh Lexa—ia bisa mengetahui bobotnya yang turun beberapa pound—menuruni anak tangga yang terhubung dengan loteng, untuk kemudian membaringkannya di kasur dengan amat hati-hati. Untuk sesaat, Sean tertegun melihat paras gadis itu yang begitu tenang dan damai. Seolah tak pernah ada beban masalah yang hinggap di sana; tak ada kenangan buruk masa kecil tentang kedua orangtua yang sengaja meninggalkannya di panti asuhan, kisah percintaannya yang selalu kandas, termasuk fakta tentang Sean yang sampai sekarang belum bersedia membalas perasaan tulusnya sesuai harapan. Pun paras itu juga tampak mustahil dimiliki seorang gadis yang telah berkali-kali melakukan percobaan bunuh diri. Dan malam ini, hanya hening yang menjadi saksi momen magis antara dua anak manusia itu;  detik ketika lelaki itu secara diam-diam menyematkan kecupan lembut di kening Lexa.
           


“Aku mencintaimu. Sungguh. Kau tahu rasa ini nyata, Sean?” ujar Lexa dengan nada riang, sekitar satu bulan yang lalu di sebuah bar tak jauh dari kompleks kampusnya.

Di hadapan gadis itu, sebaliknya, Sean tampak tak kuasa lagi menyembunyikan amarah. Ia tak pernah menyukai ide tentang Lexa dan alkohol. Jika bukan karena kata-kata gadis itu yang sempat menyentuh hatinya barusan, Sean pasti sudah menyeretnya dari tempat itu tanpa ba-bi-bu.

            “Kau... juga tahu bahwa aku selalu peduli padamu. Okay, letakkan gelasmu itu segera, atau aku akan—“ cengkraman tangan Sean ditepisnya dengan kasar.

            “Kenapa kau selalu bersikap dingin kepadaku, huh?! Why can’t you just love me? Like... the way I always do? Do you even understand—” air menggenang di sudut matanya.

            “Aku tidak bisa.”

You machine,

             BRAK!! Kepalan tangan Sean bertindak jauh lebih cepat di atas meja.
            
            “Kau adikku, Lex—God, aku... aku tidak menyayangimu seperti itu. Puas?”
            
             Lexa tertawa sinis. “Kalau begitu, bunuh saja aku.”
           

           
            Suara tawa dalam sebuah opera sabun murahan di televisi menyadarkan lamunan Sean. Usai menghabiskan waktunya bersama Lexa di loteng—ini adalah ritual yang selalu mereka lakukan di akhir minggu—Sean mau tak mau masih harus kembali berkutat dengan sampel-sampelnya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menyelesaikan disertasinya secepat mungkin agar bisa menyisihkan waktu yang lebih banyak bersama adiknya tersayang. Sean hendak menyeduh kopi. Masih berusaha menguatkan diri. Esok lusa adalah yang terakhir, batin laki-laki itu. Berburu gurita cincin biru di teluk untuk mengambil sampel racun tetrodoksin adalah bagian terakhir dari rangkaian penelitian panjangnya.

             Sean mengambil dua sendok kopi dan satu gula, sebelum tangannya tertahan di udara. Perhatiannya tiba-tiba terfokus pada selembar plastik dengan kode CNM[1] yang ada di tempat sampah. Firasat yang amat buruk kini menerjangnya. Lelaki itu langsung berlari ke kamar. Gelas berisi susu coklat manis yang ia buatkan untuk adiknya beberapa jam yang lalu itu masih ada di atas nakas. Sean kemudian berjalan limbung mendekati tempat tidur, dan terjatuh dengan kedua lututnya yang lemas.

Gadis itu terpejam damai dengan galur kebiruan yang mulai tampak menghiasi pipinya. Terlambat.




*




[1]CNM (Conium maculatum) = disebut sebagai racun Hemlock. Mengandung banyak alkaloid yang bisa mengganggu cara kerja sistem saraf pusat. Conium dapat menyebabkan kelumpuhan dari sistem pernapasan sementara korban tidak bisa bergerak sampai mengalami kematian.





A/N: Cerpen diikutsertakan dalam tantangan menulis @KampusFiksi dengan tema #TentangHilang.

----


Beside my unability to resist my urge for putting Oh Sehun's picture right there, I don't know why this sounds so angsty. Correct me if there's something invalid about toxic-thingy, or typo, or anything~ ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar