Jam menunjukkan pukul dua pagi ketika aku tergegas
mengambil air wudhu. Seperti biasa, kuhayati dinginnya air yang membasuh tiap
jengkal permukaan kulitku. Sunyi, senyap. Nikmat berupa pagi yang khusyuk dan
damai seperti ini sungguh tak ternilai. Pikiranku lantas melayang, teringat
pada satu peristiwa setahun lalu. Di pagi serupa, ketika hidupku berubah
seketika.
Saat
itu kejadiannya begitu cepat. Mobilku melesat ke sisi jurang setelah kubanting
stir agar terhindar dari tabrakan dengan truk yang hilang kendali. Sakit yang
terlampau sakit, membuatku mati rasa. suara
istriku yang merintih samar. Tubuh kami tertindih, terjepit di antara pepohonan
dan batuan. Aku pasrah, jika memang perjalananku harus terhenti. Istriku dan
anak yang sedang dikandungnya selama sembilan bulan pun takkan terselamatkan.
Tapi
apa kuasaku ketika ternyata Tuhan punya kehendak lain? Ketika harapan hampir
tiada, saat itu pula hidayah datang. Setitik cahaya lembut muncul dari arah
depan, menerangi pandangan sekitarku yang gelap. Perlahan, cahaya itu seolah
membelai puncak kepalaku. Lembut dan menenangkan, hingga aku merasa luka-lukaku
pun sembuh. Aku tersadar.
Seorang
perawat tampak menghampiriku dengan bayi di gendongannya. “Pak, alhamdulillah…
Istri anda selamat dan bayinya sehat. Dia laki-laki. Anda beri nama siapa?”
“…Kalimasada.”
Hari
itu sekaligus menjadi Ramadhan pertama untukku. Karena sama dengan nama pusaka
di dunia pewayangan, Kalimasada berarti: Kalimat Syahadat.
Flashfiction ini disertakan dalam e-book antologi cerpen berjudul #1435Karakter oleh Thumbstory. Read here: http://bit.ly/EBook1435Karakter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar